Sekian banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa taala kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dunia, Allah utus beliau kepada seluruh umat manusia. Berbeda halnya dengan para nabi dan rasul sebelumnya, mereka diutus untuk kaum mereka saja. Di akhirat, Allah berikan kepadanya sekian banyak keistimewaan dan kekhususan. Haudh (telaga) yang sangat besar dan syafaat ‘uzhma (syafaat yang paling besar) merupakan bagian dari sekian keistimewaan yang dimiliki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu hanya sebagian dari sekian banyak keistimewaan yang dianugerahkan kepada Nabi kita yang mulia.
ANTARA AL KAUTSAR DAN AL HAUDH
Saudaraku pembaca Qudwah yang dimuliakan Allah …
Sahabat mulia Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pada suatu hari, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di sisi kami, tiba-tiba beliau tertidur sejenak. Lalu mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami (para sahabat) pun bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertawa, ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Baru saja diturunkan kepadaku satu surat.’ Lalu beliau membaca,
﷽ ﴿إِنَّآ أَعْطَيْنَـٰكَ ٱلْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلْأَبْتَرُ﴾ [الكوثر]
“Dengan menyebut nama Allah, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus.” [Q.S. Al Kautsar]
Lalu Anas bin Malik melanjutkan, “Nabi kembali bertanya, “Tahukah kalian apa itu Al Kautsar?” Kami menjawab, “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi pun mengatakan, “Sesungguhnya itu adalah sungai yang dijanjikan Allah untukku. Sungai yang banyak manfaatnya. Itulah haudh (telaga). Umatku digiring menuju telaga tersebut pada hari kiamat. Bejananya sebanyak bintang. Namun ada pula hamba yang dihalangi untuk mendekati telaga tersebut. Aku pun berkata, ‘Ya rabbi, sesungguhnya dia adalah bagian dari umatku.’ Allah mengatakan, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang dia lakukan setelahmu.” [H.R. Muslim]
Kata para ulama, “Kata kautsar mencakup segala kebaikan yang Allah berikan kepada Nabi yang mulia, baik di dunia maupun di akhirat.” Di antara kebaikan tersebut adalah sebuah sungai Al Kautsar yang berada di Jannah (surga). Sungai tersebut dikelilingi oleh kemah-kemah yang terbuat dari mutiara dan tanahnya berupa misk. Pernahkah kita membayang bagaimana keindahan dan keagungannya? Sebagus apa pun yang kita bayang, Al Kautsar jauh lebih indah dan agung daripada angan-angan kita.
Saudaraku seiman, semoga Allah menjaga keimanan kita …
Ada anugerah yang tak kalah agungnya pula. Karunia Allah yang diberikan kepada beliau. Itulah Al Haudh, sebuah telaga. Bukankah para nabi yang lain juga memiliki haudh? Iya, memang disebutkan dalam hadis Nabi yang dihasankan oleh sebagian ulama kita. Hadis tersebut datang dari sahabat Samurah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi rahimahullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوۡضًا، وَإِنَّهُمۡ يَتَبَاهَوۡنَ أَيُّهُمۡ أَكۡثَرُ وَارِدَةً، وَإِنِّي أَرۡجُو اللهَ أَنۡ أَكُونَ أَكۡثَرَهُمۡ وَارِدَةً
“Sesungguhnya setiap nabi memiliki haudh. Mereka saling berbangga siapakah yang paling banyak pendatangnya. Dan aku berharap agar haudhku yang paling banyak didatangi oleh manusia.” Silakan lihat Kitab Ash Shahihah no. 1589 karya Imam Al Albani rahimahullah. Jika hadis tersebut benar, semata-mata haudh tidak menunjukkan keistimewaan beliau. Sehingga kekhususan tersebut, Allah anugerahkan kepada beliau berupa Al Kautsar.
Namun sebagian ulama yang lain melemahkan hadis tersebut. Di dalam Kitab Fathul Bari (11/467), Al Hafizh Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Masyhur bahwa di antara keistimewaan Nabi kita adalah haudh.” Lalu beliau menyebutkan hadis di atas dan mengatakan, “Jika hadis itu shahih, keistimewaan Nabi adalah Al Kautsar. Al Kautsar memancarkan air menuju haudh Nabi. Sesungguhnya tidak ada nukilan yang menunjukkan kesetaraan apapun dengan Al Kautsar tersebut.” Al hafizh sendiri menghukumi hadis tersebut sebagai hadis yang mursal (bukan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), yakni ucapan Al Hasan Al Bashri rahimahullah yang dinisbahkan kepada Nabi. Sementara hadis mursal bagian dari jenis hadis dhaif (lemah). Masih ada alasan yang lain yang dikemukakan oleh para ulama hadis. Wallahu a’lam.
Para ahli bahasa Arab mengatakan bahwa kata haudh bermakna kumpulan air. Bentuk jamak/plural haudh adalah hiyaadh dan ahwaadh. Ditinjau dari kaca mata syariat, makna haudh adalah kumpulan air yang turun dari Al Kautsar (sebuah sungai di dalam Jannah) milik junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah telaga Nabi.
Berdasarkan ayat-ayat di dalam Surat Al Kautsar, Imam Al Bukhari rahimahullah membuat bab dalam kitabnya Shahih Al Bukhari, “Bab Tentang Al Haudh (Telaga)”. Lalu beliau menyebutkan sembilan belas hadis yang menyebutkan tentang haudh Nabi. Bukan satu dan dua atau tiga, namun belasan hadis. Apalagi dimuat dalam kitab Shahih Al Bukhari yang dinyatakan oleh para ulama sebagai kitab yang paling shahih (benar) setelah Al Quran. Sehingga semua hadis tersebut adalah hadis-hadis yang shahih dari Nabi. Apalagi bila ditunjukkan dalam sekian banyak kitab hadis selain Shahih Al Bukhari.
Akhi fillah, barakallah fikum…
Berbicara tentang haudh Nabi, tidak lepas dari yang dinyatakan oleh para ulama bahwa hadis-hadis yang membicarakan tentang haudh mencapai derajat mutawatir (banyak yang meriwayatkannya). Maknanya, hadis-hadis tersebut tidak mungkin berisi kedustaan atau dibuat-buat oleh manusia, karena datang dari sekian banyak jalan melalui para perawi hadis (orang yang memberitakan hadis) yang tepercaya. Hadis tentang haudh diriwayatkan lebih dari tigapuluh sekian sahabat Nabi. Siapapun yang mengingkarinya, betapa pantasnya dia untuk dihalangi mendekati dan meminum air haudh tersebut pada hari yang penuh dengan haus dan dahaga.
Imam Ibnu Abdilbar rahimahullah mengatakan, “Hadis-hadis yang berbicara tentang haudh (telaga) beliau adalah mutawatir yang shahih (benar) dari Nabi, hadis-hadis yang sangat banyak.” (At Tamhid 2/291-309). Lebih-lebih para ulama telah berijma’ (bersepakat) akan keberadaan haudh tersebut. Apakah para ulama bersepakat di atas kebatilan dan kesesatan? Tentu tidak. “Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa Nabi kita memiliki haudh yang didatangi oleh kaum muslimin pada hari kiamat. Siapa pun yang meminumnya, tidak akan haus selamanya. Orang yang mengubah dan mengganti agama ini akan dihalau dan dihalangi untuk mendekati haudh tersebut.” Demikian dikatakan oleh Ibnu Abdilbar dalam Kitab Al Iqna’ (1/52).
Oleh karena ini, beriman terhadap haudh adalah perkara yang wajib bagi setiap muslim. Iman terhadap telaga Nabi merupakan bagian dari akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jika kita mengaku sebagai pengikut Nabi, mari kita imani adanya telaga tersebut.
Berbeda halnya dengan ahli bidah semisal Al Khawarij dan sebagian Al Mu’tazilah yang menolak hadis-hadis itu dan mengingkari adanya telaga Nabi. Betapa jauh dan sesatnya mereka dari jalan kebenaran yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh dikhawatirkan mereka tidak merasakan dan meminum air telaga tersebut. Jika demikian, mereka sungguh celaka dan merugi. Kita memohon keselamatan dan taufik kepada Allah.
TELAGA NAN LUAS
Telaga Nabi tersebut bersambung dengan air yang ada di sungai Kautsar di surga. Ada dua saluran yang menghubungkan antara telaga Nabi dengan Kautsar. Dari situ, air memancar dengan deras. Saluran yang satu terbuat dari perak dan saluran yang kedua terbuat dari emas. Nabi bersabda:
... يَغُتُّ فِيهِ مِيزَابَانِ يَمُدَّانِهِ مِنَ الۡجَنَّةِ، أَحَدُهُمَا مِنۡ ذَهَبٍ، وَالۡآخَرُ مِنۡ وَرِقٍ
“Dua saluran yang berhubungan telaga tersebut dengan surga. Yang satu terbuat dari emas dan yang lain terbuat dari perak.” [H.R. Muslim]
Nabi pernah mengingatkan bahwa telaga itu tidaklah diciptakan pada hari kiamat. Namun Allah telah menciptakan telaga tersebut. Di saat Nabi hidup, beliau pernah melihat telaga itu. Nabi pernah bersabda:
وَإِنِّي وَاللهِ لَأَنۡظُرُ إِلَى حَوۡضِي الۡآنَ
“Sesungguhnya aku melihat telagaku saat ini.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu]
Di dalam Kitab Shahih Al Bukhari dan Muslim, sahabat yang mulia Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menuturkan:
حَوۡضِي مَسِيرَةُ شَهۡرٍ وَزَوَايَاهُ سَوَاءٌ
“Telagaku sepanjang perjalanan satu bulan. Panjang sisi-sisinya sama.”
Pada hadis yang lain, Nabi bersabda yang artinya, “Sesungguhnya ukuran telagaku sebagaimana jarak antara Ailah dan Shan’a di Yaman.” [Muttafaqun alaih dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu]. Sementara di dalam kitab Shahih Al Bukhari dan Muslim juga dari sahabat Haritsah radhiyallahu ‘anhu, Nabi bersabda yang artinya, “Telagaku sejarak Shanaa dan Madinah.” Bahkan jika kita menengok dalil-dalil yang lain, kita dapati lafal-lafal yang berbeda yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadis dalam kitab-kitab mereka. Bukankah ini menunjukkan adanya pertentangan? Bagaimana sikap kita?
Pertama kali, wajib bagi kita untuk mengimani apa yang disabdakan Nabi selama itu adalah hadis yang shahih. Bahkan hadis yang hanya mencapai derajat hasan, wajib untuk diyakini. Kata para ulama, “Adapun perbedaan jarak tersebut, maka semua riwayat tersebut mirip atau berdekatan. Paling tidak sebulan, tambah sedikit atau kurang dari sebulan.” Mereka juga menjawab problem tersebut, “Demikian juga ukurannya, bukanlah ukuran panjang sebenarnya, namun sebagai gambaran besarnya telaga itu. Beliau kabarkan ukuran tersebut sesuai dengan pemahaman sang pendengar.” Wallahu a’lam.
TELAGA YANG MENAKJUBKAN
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah …
Air telaga Nabi lebih putih daripada susu. Aromanya lebih harum daripada minyak wangi misk. Rasanya lebih manis daripada madu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “(Luas) telagaku sejauh perjalanan satu bulan. Airnya lebih putih daripada susu. Aromanya lebih wangi daripada minyak wangi misk.” [Muttafaqun ‘alaih dari sahabat Ibnu Umar]. Pada sebagian lafazh hadis, “Lebih putih daripada perak.” Di dalam Shahih Muslim, Nabi bersabda yang artinya, “Telaga tersebut lebih manis daripada madu.”
Allah menyiapkan gelas dan bejana di sisi telaga itu bagi orang-orang yang meminumnya. Berapa jumlahnya? Gelasnya sebanyak bintang-bintang di langit. Subhanallah. Betapa banyaknya. Siapa yang bisa menghitung jumlah bintang di langit?
Di dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim, sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan:
إِنَّ قَدۡرَ حَوۡضِي كَمَا بَيۡنَ أَيۡلَةَ وَصَنۡعَاءَ مِنَ الۡيَمَنِ، وَإِنَّ فِيهِ مِنَ الۡأَبَارِيقِ كَعَدَدِ نُجُومِ السَّمَاءِ
“Sesungguhnya luas telagaku sebagaimana antara Ailah dan Shan’a di Yaman. Padanya terdapat bejana-bejana sejumlah bintang-bintang di langit.”
Bahkan di dalam hadis Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim, Nabi mengatakan bahwa gelas-gelas itu lebih banyak dari jumlah bintang di langit. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah akan hal itu, seandainya tanpa sumpahpun, cukup bagi kita untuk membenarkan ucapan beliau. Beliau bersabda, yang artinya, “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, gelas-gelas telagaku lebih banyak dari bintang-bintang di langit, pada malam yang gelap gulita.”
TAKKAN HAUS SETELAHNYA
Selain itu, siapapun yang meminumnya tidak akan haus selamanya. Dia tidak akan merasakan dahaga tatkala manusia mengalami haus dahaga. Suatu keutamaan dan keberuntungan bagi orang yang meminum telaga tersebut. Siapa yang tak ingin meraih keutamaan tersebut? Tentu kita semua menginginkannya.
Al Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis di dalam kitab shahih keduanya dari sahabat Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu. Nabi bersabda yang artinya, “Telagaku sepanjang perjalanan satu bulan. Sisi-sisinya sama. Airnya lebih putih daripada perak. Baunya lebih harum daripada misk. Gelas-gelasnya sejumlah bintang di langit. Siapapun yang meminumnya tidak akan haus selamanya.”
Sungguh beruntung orang yang meminum air telaga itu. Mereka adalah umat yang mengikuti jalan Nabi dalam beragama, yang benar-benar mengikuti beliau dalam akidah, ibadah, dan amalannya. Semoga Allah menggolongkan kita ke dalamnya.
Bahkan Nabi menunggu kedatangan umatnya. Beliau berkata yang artinya, “Aku benar-benar menunggu kalian di telagaku.” [Muttafaqun ‘alaih]. Coba kita lihat betapa cinta dan sayangnya beliau kepada kita. Bahkan beliau sangat berharap agar telaga beliau paling banyak pendatangnya dan peminumnya.
Berdasarkan sekian banyak hadis tersebut, para ulama mengatakan bahwa telaga tersebut berada sebelum shirat (jembatan yang diletakkan di atas Jahannam). Mereka mendatangi telaga tersebut di Arashat (hamparan) kiamat, di Padang Mahsyar. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam kitab An Nihayah (1/412-413), “Yang nampak pada hadis-hadis itu menujukkan bahwa telaga itu berada sebelum manusia melewati shirat.” Setelah menyebutkan argumennya, beliau mengatakan bahwa yang lebih dekat kepada kebenaran adalah telaga tersebut terletak sebelum shirat.
Walaupun sebagian ulama mengatakan bahwa telaga itu ada setelah shirat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa telaga itu ada sebelum shirat dan setelahnya. Wallahu a’lam.
SIAPA YANG CELAKA DAN SENGSARA
Kaum muslimin rahimakumullah, …
Sungguh disayangkan, ada sebagian dari umat ini tidak cinta dan sayang pada dirinya sendiri. Tidaklah setiap hamba dibalas, melainkan buah dan akibat jerih payah yang diusahakan di dunia. Di hari kiamat, Nabi melihat mereka dan mereka melihat Nabi. Akan tetapi mereka dihalangi untuk mendekat dan meminum air telaga tersebut. Betapa merugi orang yang tidak meminumnya. Tatkala manusia dahaga, ia pun merasakan dahaga. Siapakah mereka?
Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama, mereka adalah orang-orang munafik dan murtad. Mereka dikenal dengan sebab bekas wudhu yang dahulu mereka lakukan di dunia. Sehingga pada hari kiamat, Nabi memanggil mereka. Namun karena mengganti agama, mereka dihalangi dan dilarang mendekati telaga tersebut.
Pendapat kedua, mereka adalah orang-orang yang hidup di zaman Nabi. Lalu murtad setelah beliau meninggal dunia. Nabi memanggil mereka, karena beliau mengenal mereka ketika masih hidup dan beragama Islam di saat itu, walaupun tidak ada tanda bekas wudhu.
Pendapat ketiga, mereka adalah para pelaku maksiat dan dosa-dosa besar, yang meninggal dunia dalam keadaan di atas tauhid. Juga ahli bidah, yang kebidahan mereka tidak mengeluarkan dari agama Islam. Berdasarkan pendapat ini, tidak dipastikan bahwa mereka yang dihalau ke neraka. Bahkan mereka dihalangi menuju telaga itu sebagai balasan bagi mereka. Lalu Allah merahmati mereka dan memasukkannya ke dalam surga tanpa adzab.
Nabi bersabda yang artinya, “Benar-benar sekelompok manusia dari kalangan sahabatku menuju telaga tersebut, hingga saya mengenal mereka. Mereka dihalangi untuk menemuiku. Aku pun berkata, ‘Sahabatku … Sahabatku …’ Lalu Allah berkata, “Engkau tidak tahu apa yang mereka kerjakan setelah sepeninggalmu.” [Muttafaqun alaih]. Bahkan beliau berkata yang artinya, “Kecelakaan … kecelakaan … bagi orang yang mengubah agama ini.”
Bisa jadi mereka semua adalah orang-orang yang dihalangi untuk mendekati dan meminum air telaga Nabi. Setidaknya, kita mengambil pelajaran dari semua itu. Kita terus berusaha untuk meluruskan akidah, ibadah, dan amalan kita. Serta kita menjauhi segala perbuatan dosa, maksiat, bidah, lebih-lebih kenifakkan, kekufuran, serta kesyirikan.
Semoga Allah memberikan kesabaran kepada kita untuk menjalani agama Islam ini hingga bertemu dengan Nabi dan minum dari telaganya. Sabar dalam menjalani ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, serta sabar dalam menerima dan menghadapi cobaan. Allah berfirman di dalam al-Quran,
إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [Q.S. az-Zumar: 10]. Amin, … ya rabbal alamin.
Washallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam walhmadulillah rabbil alamin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 41 vol.04 2016 rubrik Masa Depan. Pemateri: Al Ustadz Abu Bakar Al Jombangi.