Bab Keempat: Hukum Mengikuti dan Bergabung kepada Salafiyyah
Aku katakan: Setiap muslim yang menghadap kiblat untuk mengerjakan salat kepada Allah baik wajib ataupun sunah, pasti membaca surah Al-Fatihah. Ini adalah salah satu rukun salat. Di dalam surah Al-Fatihah ada firman Allah taala,
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6).
Yaitu: dia memohon Allah untuk menunjukinya jalan yang lurus. Akan tetapi, apakah jalan lurus yang kita pinta kepada Allah untuk Dia tunjukkan kita kepadanya?
Jawabannya: Ungkapan-ungkapan para ulama hampir sama dalam memaknainya. Imam Abul ‘Aliyah Ar-Riyahi telah menyimpulkannya untukmu. Al-Imam Ibnu Jarir telah mengeluarkan di dalam kitab At-Tafsir[1] dengan sanad yang hasan bahwa Hamzah ibnul Mughirah mengatakan, “Aku bertanya kepada Abul ‘Aliyah tentang firman Allah taala: Tunjukilah kami jalan yang lurus. Beliau menjawab: Maknanya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua sahabat sepeninggal beliau: Abu Bakr dan ‘Umar.” Hamzah berkata, “Aku pun datang kepada Al-Hasan, lalu aku kabarkan kepada beliau mengenai hal itu. Yakni, apa pendapatmu? Beliau pun menjawab: Beliau benar dan beliau telah menasihatimu.”
Engkau ingin agar Allah membimbingmu kepada jalan yang lurus, maka teruslah berpegang teguh dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pegang teguh lah sunah para sahabat beliau dan jalan para sahabat sepeninggal beliau, terutama para khalifah yang lurus, terkhusus Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata di dalam kitab beliau Dzammut Ta`wil[2], “Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas jalan yang lurus. Maka, orang yang menempuh jalan beliau berarti menempuh jalan yang lurus. Ini pasti. Sehingga, kita wajib untuk mengikuti beliau, berhenti ketika beliau berhenti, dan diam dari apa saja yang beliau diamkan.”
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitab Bada`i’ul Fawa`id[3] mengatakan, “Masalah kedua puluh: Apakah jalan yang lurus itu? Kami akan sebutkan ucapan yang ringkas mengenainya, karena para ulama bermacam-macam ungkapan dalam memaknainya… Adapun hakikatnya sebenarnya satu saja, yaitu:
Jalan Allah yang Dia bentangkan bagi hamba-Nya melalui lisan-lisan para rasul-Nya. Allah menjadikannya sebagai sesuatu yang mengantarkan para hamba-Nya kepada-Nya dan tidak ada jalan bagi mereka selain jalan itu. Bahkan, semua jalan-jalan tertutup kecuali jalan ini. Yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, menunggalkan Rasul-Nya untuk ditaati, tidak menyekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Allah, dan tidak menjadikan seorang pun untuk menjadi serikat bersama Rasulullah dalam ketaatan kepada beliau. Sehingga, tauhid menjadi murni dan sikap mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjadi murni.”
Atas dasar yang telah disebutkan secara ringkas di atas, lalu apa hukum mengikuti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum?
Jawabannya: Wajib, tidak bisa tidak. Dalil-dalil atas kewajibannya sangatlah banyak dari Alquran dan sunah, andai engkau perhatikan.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah telah membuat satu pasal yang bermanfaat di dalam kitabnya yang istimewa, I’lamul Muwaqqi’in[4], tentang wajibnya mengikuti sahabat dari kalangan salaf. Kami akan sebutkan sebagian dalil-dalilnya, di antaranya adalah:
1. Firman Allah taala,
وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan apabila kedua orang tuamu memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak engkau miliki ilmunya, maka janganlah engkau taati keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepadaku kemudian kepada-Ku lah tempat kembali kalian, maka Aku akan beritakan kepada kalian dengan apa saja yang kalian dahulu kerjakan.” (QS. Luqman: 15).
Sisi pendalilannya: Al-Imam Ibnul Qayyim mengatakan[5] –dan ini termasuk pemahaman yang teliti, yang tidak dicapai kecuali oleh orang-orang yang sabar-, beliau mengatakan, “Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah taala, sehingga wajib mengikut jalannya. Ucapannya, perbuatannya, dan keyakinannya adalah termasuk jalannya yang terbesar.
Dan dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali adalah bahwa Allah taala telah menunjuki mereka, yakni: menunjuki mereka kepada Islam. Sedangkan Allah berfirman,
وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
“Dan memberi petunjuk kepada (agama-)Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syura: 13).
2. Firman Allah taala,
قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah, inilah jalanku, yang aku mengajak kepada Allah di atas ilmu. Jalanku dan jalan siapa saja yang mengikutiku. Maha suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Sisi pendalilannya: Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan[6], “Allah mengabarkan bahwa siapa saja yang mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berdakwah kepada Allah. Dan siapa saja yang berdakwah kepada Allah di atas ilmu, maka wajib mengikutinya. Berdasarkan firman Allah taala tentang apa yang Allah hikayatkan dari jin dan Dia meridainya. Jin itu mengatakan,
يَـٰقَوْمَنَآ أَجِيبُوا۟ دَاعِىَ ٱللَّهِ وَءَامِنُوا۟ بِهِۦ
“Wahai kaum kami, terimalah seruan orang yang berdakwah kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya.” (QS. Al-Ahqaf: 31).
Dan karena siapa saja yang berdakwah kepada Allah di atas ilmu, maka dia telah berdakwah kepada kebenaran dalam keadaan mengilmuinya. Dan dakwah kepada hukum-hukum Allah adalah dakwah kepada Allah karena hal itu merupakan seruan untuk menaati-Nya dalam perintah dan larangan-Nya. Maka, para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga wajib mengikuti mereka apabila mereka berdakwah kepada Allah.”
3. Firman Allah taala,
وَمَن يَعْتَصِم بِٱللَّهِ فَقَدْ هُدِىَ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan siapa saja yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka ia telah ditunjuki kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101).
Sisi pendalilannya: Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata[7], “Sisi pendalilan ayat ini: Bahwa Allah taala mengabarkan tentang orang-orang yang berpegang teguh dengan agama Allah, bahwa mereka telah diberi petunjuk kepada kebenaran. Sehingga, kita katakan: Para sahabat ridhwanallahu ‘alaihim adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan agama Allah, jadi mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk. Maka, mengikuti mereka adalah wajib.”
4. Firman Allah taala,
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan siapa saja yang menentang Rasul setelah jelas petunjuk baginya dan mengikuti selain jalan kaum mukminin, maka Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan neraka Jahanam. Dan neraka Jahanam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa`: 115).
Sisi pendalilannya: Al-Imam Ibnu Qudamah di dalam kitab Dzammut Ta`wil berkata[8], “Siapa saja yang mencintai kebersamaannya dengan kaum salaf di akhirat nanti dan senang untuk dijanjikan dengan apa yang telah dijanjikan untuk mereka berupa surga-surga dan keridaan, maka hendaknya ia mengikuti mereka dengan baik. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan mereka, ia akan masuk ke dalam keumuman firman Allah taala.” Lalu beliau menyebutkan ayat surah An-Nisa` ini.
Al-Imam Ibnu Qudamah membuat satu bab di dalam kitab Dzammut Ta`wil, beliau berkata, “Bab kedua: tentang penjelasan wajibnya mengikuti mereka, anjuran untuk terus berpegang dengan mazhab mereka, dan menempuh jalan mereka. Serta penjelasan hal itu dari Alquran, Sunah, dan ucapan para imam.”[9]
Kemudian beliau dalam bab ini berdalil dengan ucapan beliau, “Adapun Alquran… --beliau menyebutkan ayat surah An-Nisa` ini, lalu berkata-- Allah mengancam bagi yang mengikuti selain jalan mereka dengan azab neraka Jahanam dan menjanjikan pengikut mereka (salaf) dengan keridaan dan surga. Allah taala berfirman,
وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّـٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan muhajirin dan ansar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan merekapun rida kepada Allah. Dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100). Allah menjanjikan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dengan janji berupa keridaan-Nya, surga-Nya, dan kemenangan yang besar.”
5. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadis Al-‘Irbadh bin Sariyah yang terkenal. Di dalam hadis tersebut,
فَعَلَيۡكُمۡ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الۡخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الۡمَهۡدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيۡهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمۡ وَمُحۡدَثَاتِ الۡأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunahku dan sunah para khalifah yang lurus dan diberi petunjuk. Gigitlah dengan gigi-gigi geraham! Hati-hatilah dari perkara-perkara yang diada-adakan karena setiap bidah adalah sesat.”
Hadis ini dikeluarkan oleh penyusun kitab Sunan[10] dan merupakan hadis yang sahih.
Sisi pendalilannya: Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata[11], “Nabi menyandingkan sunah para khalifahnya dengan sunah beliau. Beliau memerintahkan untuk mengikutinya sebagaimana beliau memerintahkan untuk mengikuti sunahnya. Bahkan beliau sangat menekankan saat memerintahkannya sampai-sampai beliau memerintahkan agar digigit dengan gigi-gigi geraham. Sunah para khalifah ini mencakup apa saja yang mereka fatwakan dan mereka sunahkan untuk umat…” Selesai ucapan beliau rahimahullah.
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata di dalam kitab Dzammut Ta`wil[12], “Nabi memerintahkan untuk berpegang teguh dengan sunah para khalifahnya sebagaimana beliau memerintahkan untuk berpegang teguh dengan sunahnya. Beliau juga mengabarkan bahwa perkara-perkara yang diada-adakan adalah bidah dan sesat. Yaitu segala ibadah yang tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula sunah para sahabatnya.
[1] (1/75).
[2] Halaman 38.
[3] (2/40).
[4] Lihat (4/dari halaman 123 – 156).
[5] I’lamul Muwaqqi’in (4/halaman 130).
[6] I’lamul Muwaqqi’in (4/130-131).
[7] I’lamul Muwaqqi’in (4/134).
[8] Halaman 7.
[9] Halaman 26.
[10] Abu Dawud di dalam As-Sunan (5/nomor 4607), At-Tirmidzi di dalam Al-Jami’ (5/nomor 2676), Ibnu Majah di dalam As-Sunan (1/nomor 43 dan 44), Ahmad di dalam Al-Musnad (4/126), Ibnu Hibban di dalam Ash-Shahih (1/nomor 5 – Al-Ihsan), dan selain mereka.
At-Tirmidzi berkata: Hadis hasan sahih. Disahihkan oleh Ibnu Hibban. Abu Nu’aim berkata: Hadis yang (jayyid) baik termasuk hadis sahih dari periwayatan orang-orang Syam (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/halaman 109). Disahihkan oleh Al-Albani, bisa dilihat di Al-Misykah (1/nomor 165) dan Al-Irwa` (8/nomor 2455).
[11] I’lamul Muwaqqi’in (4/140).
[12] Halaman 26.