Di kota asalnya Aleppo (Syria) saat dia Abu Ghuddah berkhuthbah di atas mimbar pada hari Jum'at, dia menyibukkan diri dengan mencela ahli tauhid yang dikenal di negerinya dengan salafiyyun, dan juga ahli tauhid di Saudi Arabia dan yang lainnya yang dijuluki Wahabiyyah. Dia mengumumkan permusuhannya yang keras terhadap mereka dan nyata-nyata menyesatkannya lewat perkataannya, "Sesungguhnya isti'anah (minta pertolongan) kepada yang sudah mati selain kepada Allah, dan istighotsah kepada mereka adalah boleh bukan syirik. Siapa yang mengira hal itu syirik atau kufur, maka ia kafir!" Dalam keadaan semua orang tahu kalau mereka para ahli tauhid ahlissunnah menyatakan perbuatan itu adalah kesyirikan dan dakwah mereka semata-mata memurnikan peribadahan kepada Allah dan ikhlash dalam hal ittiba' kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Abu Ghuddah menafikan kalau kalam Allah itu terdiri dari huruf dan suara, seperti keyakinannya Kullabiyyah dan Asy'ariyyah. Pada komentarnya terhadap kitab asma` wash shifat halaman 194 karya Imam Al Baihaqi dia mengatakan, "Sesungguhnya Musa 'alaihis salam ketika Allah Ta'ala mengajak bicara kepadanya, beliau tidak mendengar suaraNya..."
Ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan aqidah ahlussunnah wal jama'ah aqidahnya para sahabat, tapi nampaknya ini semua adalah buah taqlidnya kepada Al Kautsari di saat Kautsari menolak ketinggian Allah Ta'ala atas makhlukNya.
Sungguh tidak ada baiknya pada diri Abu Ghuddah walau ia sempat tinggal di Saudi Arabia mengajar beberapa tahun lamanya, menyembunyikan jati dirinya berkura-kura dalam perahu alias berpura-pura tidak tahu-menahu.
Bagai bobok manggih gorowong serasa mendapatkan jalan untuk mencela dan menjatuhkan seorang ulama ahlussunnah muhaddits negeri Syam Syaikh Nashiruddin Al Albani, saat beliau mengkritik dan mendho'ifkan salah satu sanad hadits dalam Shahih Bukhari –bukan matannya!-. Abu Ghuddah dan Syaikh Abdullah Al Ghimari menampakkan reaksi pengingkaran yang keras padahal Abu Ghuddah sendiri tahu kalau Al Kautsari yang menjadi guru kebanggaannya mengingkari matan hadits tersebut, lalu kenapa dia diam tidak berkomentar? Karena Kautsari adalah gurunya! Taqlid plus licik, bukan karena ada urusan pribadi dengan Albani tetapi karena memang kebenciannya terhadap sunnah dan ahlissunnah.
Abdullah Al Ghimari yang dielu-elukan para pengikutnya sebagai ahli hadits dunia, tidak ada yang perlu ditanggapi dari pengingkarannya terhadap Syaikh Al Albani, sebab dia dengan lugasnya mendho'ifkan dua hadits di antaranya dalam Shahih Bukhari dan Muslim, yang aneh alasannya bukan karena cacat pada sanadnya akan tetapi karena menyelisihi Al Qur`an –menurut sangkaannya-. (Lihat bantahan Al Albani dalam Ash Shohihah no. 2814). Hadits pertama, dari A`isyah ia berkata, "Diwajibkan sholat dua roka'at dua roka'at, maka hal itu ditetapkan dalam safar dan ditambah dalam keadaan mukim." Al Ghimari mengatakan, "Dho'if dan syadz." Dalam risalahnya As Subhu As Saafir halaman 16. Kemudian hadits yang kedua, "Sesungguhnya Allah mewajibkan sholat melalui lisan Nabi kalian atas musafir dua roka'at dan bagi yang mukim empat roka'at..." dari sahabat Ibnu Abbas. Dia Abu Ghuddah menghukuminya dho'if pada halaman 45 dalam risalah yang sama. Masih layakkah dua orang ini dikatakan ahli hadits dunia?! Atau ahli taqlid dunia tepatnya!
***
Para pembaca, tokoh pembaharu gerakan taqlid berikutnya adalah Muhammad Sa'id Al Buthi, Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al Hanafi Ad Diyubandi Al Kandahlawi (pendiri Jama'ah Tabligh) dan para pengikutnya serta Ali Ash Shobuni (penulis kitab Shofwatut Tafasir) dimana ia mengatakan ihwal taqlid kepada empat Imam (Ahmad, Malik, Syafi'i dan Abu Hanifah) "Sungguh ini merupakan kewajiban yang paling wajib". Tentu saja ucapannya ditentang banyak ulama seperti Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rohimahullah, beliau berkata, "Tidak ragu bahwa penentuan ini adalah keliru, sebab tidak wajib untuk taqlid kepada seorang pun dari empat imam itu, tidak pula kepada selainnya walau bagaimanapun keilmuannya, karena kebenaran adalah dalam mengikuti Kitab dan Sunnah bukan dalam bertaqlid kepada seseorang dari manusia. Paling tidak taqlid itu hanya dibolehkan ketika darurat kepada siapa yang diketahui kapasitas keilmuannya, keutamaannya serta kelurusan aqidahnya seperti hal itu telah diterangkan Ibnul Qayyim dalam kitabnya I'lamul Muwaqqi'in." (Majmu'ul Fatawa wa Maqolaatusy Syaikh jilid III halaman 52).
Al Allamah Muhammad Sulthon Al Ma'shumi Al Khujandi As Salafy (w. 1380 H) mengatakan, "Yang benar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengharuskan berkomitmen kepada madzhab salah seorang a`immah, akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan untuk mengikutinya, siapa yang menyelisihi sunnah Rosulullah setelah tetap adanya, maka penyelisihannya tertolak. Tidak boleh bagi seorangpun yang menisbatkan dirinya kepada Islam untuk mengatakan "Aku tidak akan mengamalkan hadits, tapi akan mengamalkan ucapan pimpinanku (imamku)." karena yang demikian akan menyeret kepada kemurtadan wal 'iyadzubillah.
Wajib bagi setiap muslim agar merenungkan apa yang tertera dalam hadits, menjadikannya ada di kedua kelopak matanya, menggigitnya (memegang teguh) dengan kuat, mengikatkan kepadanya sepenuh hati, jangan menyimak siapa yang menyelisihinya. Inilah jalan yang lurus, ambillah ia sebagai satu-satunya madzhab tidak keluar darinya." (Lihat Hal Muslimu Mulzamun bittiba'i Madzhabin Mu'ayyanin min Madzaahibil Arba'ah halaman 114).
Al Allamah Ibnul Qayyim berkata, "Ini (taqlid) adalah kebid'ahan yang jelek muncul di tengah-tengah umat, tidak ada seorang pun dari a`immah Islam mengatakannya, mereka adalah orang-orang yang tinggi kedudukan dan kemampuan, lebih mengetahui tentang Allah dan RosulNya daripada menuntut manusia untuk taqlid. Sangat jauh melenceng orang yang berkata harus bermadzhab dengan madzhab salah seorang 'alim dari kalangan ulama, apalagi kalau mengharuskan bermadzhab dengan salah satu dari madzhab yang empat." (I'lamul Muwaqqi'in jilid IV/261 dari Hal Muslimu Mulzamun littiba'i Madzhabin Mu'ayyan halaman 122).
***
Para pembaca, ketika gejolak firqoh sesat semakin menjadi, terutama setelah berlalunya tiga kurun pertama, dari firqoh Khowarij, Jahmiyyah, Mu'tazilah, dan yang lainnya mulailah aroma bau fanatik tercium di sana-sini, pergolakan taqlid terhadap tokoh-tokoh firqoh tertentu pun kian membara.
Saat itu manusia ditimpa bencana lebih gemar memunculkan ide dan gagasan baru, mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya dari syari'at yang telah dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kondisi seperti ini terus berkembang beberapa lamanya, mengakibatkan generasi-generasi yang datang kemudian mayoritasnya membelot dari jalan yang ditempuh kaum salaf, menjungkir-balikkan dasar-dasar peletakan agama, akhirnya Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta ucapan para Khulafa`ur Rasyidin dan seluruh para sahabat radhiyallahu 'anhum diukur di atas ucapan dan pendapatnya orang-orang yang mereka mentaqlidnya.
Sungguh gerakan taqlid ini benar-benar menyelisihi perintah Allah dan RasulNya serta petunjuk para sahabat-sahabatnya dan juga keadaan para a`immah, menempuh jalan selain jalannya ahlul ilmi. Allah berfirman,
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
"Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS Ali Imran: 31).
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS Al Hasyr: 7).
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya." (QS An Nisa`: 59).
Para pentaqlid telah menggoreskan sejarah yang penuh noda atas umat ini, mereka memecah belah agama dan menjadikan para penganutnya bergolong-golongan, tiap golongan dibela para pengikutnya dengan semangat kefanatikan, mereka tidak mau menerima sesuatu yang jelas-jelas datang dari sunnah Rasulullah yang shahih, karena yang mengamalkannya bukan dari golongannya dan yang terpenting karena jajaran yang dianggap sebagai dewan ulamanya tidak mengamalkan dan tidak menganggapnya sebagai sunnah. Seolah sunnah yang tidak diamalkan sang "dewan" adalah agama baru selain agama mereka! Sementara Allah Ta'ala berfirman,
إِذْ تَبَرَّأَ ٱلَّذِينَ ٱتُّبِعُوا۟ مِنَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوا۟ وَرَأَوُا۟ ٱلْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ ٱلْأَسْبَابُ. وَقَالَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوا۟ لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا۟ مِنَّا ۗ كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ ٱللَّهُ أَعْمَـٰلَهُمْ حَسَرَٰتٍ عَلَيْهِمْ ۖ وَمَا هُم بِخَـٰرِجِينَ مِنَ ٱلنَّارِ
"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka." (QS Al Baqoroh: 166-167).
Taqlid dan fanatik golongan serta ashobiyyah syaithoniyyah agaknya begitu membelenggu hizb-hizb yang mengibarkan bendera dakwah Islam dewasa ini, semua itu menyeretnya keluar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta paham kaum salaf dalam mengamalkan keduanya, meninggalkan jalannya para a`immah, para ulama yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah RasulNya.
Tak disangkal di antara hizb itu ada yang mempunyai peraturan dan dewan yang diulamakan tersendiri dimana setiap keputusan-keputusannya tidak boleh diselisihi, tidak boleh keluar dari pemahamannya mereka, mensejajarkan mereka dengan para a`immah, para ulama yang peranannya di dalam membela dan mengikuti sunnah Rasulullah sangat nampak dalam sejumlah karya-karya besarnya –yang menunjukkan kapasitas keilmuan- dan kehidupan sehari-harinya.
Lingkungan seperti ini menyebabkan para muqallidnya (pengikutnya) hanya mau mengambil dan mengamalkan pendapat yang muncul dari tokoh-tokoh madzhabnya atau sang dewan ulamanya, meninggalkan dari beramal dengan fatwa Imam Al Bukhari, Abdullah ibnul Mubarok, Al Auza'i, Sufyan Ats Tsauri, Sa'id ibnul Musayyab, dan Hasan Al Bashri, serta para a`immah dan ulama lainnya yang jauh lebih layak untuk diambil ilmunya. Parahnya lagi, pendapat yang berasal dari tokohnya –yang katanya hasil pengkajian berdasarkan Kitab dan Sunnah- lebih didahulukan meski berseberangan dengan fatwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Mas'ud serta seluruh para sahabat radhiyallahu 'anhum.
Lalu bagaimana kiranya jika mewajibkan para pengikutnya untuk mengikuti pendapat para tokoh madzhab dan kesepakatan sang "dewan ulama" yang kapasitas keilmuan, pembelaan dan peranan serta ittiba'nya terhadap sunnah jauh lebih rendah, kemudian melarang untuk mengikuti dan mengambil pendapatnya para a`immah, para salaf para sahabat?!!!
Insya Allah bersambung. Wal 'ilmu 'indallah.
Ditulis oleh Abu Hamzah Al Atsary.
Sumber: Buletin Al-Wala` Wal-Bara` Edisi ke-43 Tahun ke-2 / 17 September 2004 M / 02 Sya'ban 1425 H.