Cari Blog Ini

Sang Pemilik Hari Uhud

Gunung Uhud menjadi saksi bisu atas keberanian dan pengorbanan para generasi terbaik umat ini. Benderang perang telah tertabuh, dua pasukan pun terlibat pertempuran sengit. Masing-masing memperjuangkan yang mereka yakini. Gemerlap kilatan pedang tersorot ke setiap arah dan gemerincingnya semakin menambah kerinduan untuk mendapatkan syahid. Saat itu para ksatria muslim bagaikan singa yang mengamuk dan menerkam mangsanya, keperkasaan mereka tiada banding. Pedang-pedang para kekasih Allah itu menyambar dan menyabet setiap musuh yang menghadang. Hal ini menjadikan orang-orang musyrik kocar-kacir sehingga mereka mundur, dan ghanimah pun bertabur.

Hampir-hampir kemenangan diraih kaum muslimin, namun –Qaddarallah wama sya’a fa’al- pasukan pemanah yang melindungi kaum muslimin di Gunung Rumat (anak Gunung Uhud) turun darinya karena tergiur dengan ghanimah yang berserakan. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan emas ini, orang-orang musyrik pun berbalik menuju Uhud dan menguasainya. Keadaan menjadi terbalik, kaum muslimin menjadi terjepit dan barisan mereka pun porak poranda. Terlebih setelah terdengar teriakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah gugur.

Di saat itulah pengorbanan yang luar biasa ditunjukkan Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu. Sebagai bukti cinta kepada sang kekasih, bukan hanya harta, tetapi jiwa dan raga ia pertaruhkan. Thalhah bin Ubaidillah, salah seorang shahabat yang memiliki keutamaan yang melimpah. Bahkan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu apabila disebutkan kepadanya Perang Uhud beliau berkata, “Hari itu seluruhnya milik Thalhah bin Ubaidillah.”

Beliau dikenal dengan Thalhah Al Juud (sang dermawan), Thalhah Al Khair (pecinta kebaikan), dan Thalhah Al Fayyadh (yang banyak berbuat kebaikan). Semua itu adalah gelar yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikan kepadanya pada berbagai kesempatan. Hal ini menunjukkan keutamaan dan kedudukan beliau yang tinggi.

PERTEMPURAN DI GUNUNG UHUD


Tatkala orang-orang musyrik melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selamat, maka perhatian mereka pun terfokus kepada beliau. Beliaulah sasaran utama yang hendak mereka tumpas. Maka tertumpuklah peperangan di sekitar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para shahabat bersegera mengelilingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikan badan-badan mereka sebagai tameng hidup. Maka mulailah mereka bertempur habis-habisan sampai tetes darah yang terakhir. Bagai hujan yang tiada henti sabetan pedang dan anak panah merobek dan menusuk tubuh-tubuh para shahabat. Satu persatu para kekasih Allah meraih syahid.

Sungguh Thalhah saat itu mendapatkan ujian yang terindah, beliau bertempur dengan sebelas orang musyrik sehingga jari-jarinya terputus dan terdapat 70 lebih luka di sekujur tubuhnya, akibat sayatan dan hujaman pedang.

Berkata Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya yang menyaksikan Perang Uhud, “Sungguh Thalhah pada hari Uhud mendapatkan ujian yang indah. Ia telah melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan badannya dan menahan lesatan anak panah dengan tangannya sehingga menjadikan tangannya lumpuh, dan kepalanya terkena sabetan pedang. Pada pertempuran yang sangat mendebarkan itu, beliau sempat menggendong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang saat itu terluka) sampai meletakkannya di atas batu dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Hari ini telah wajib bagi Thalhah, wahai, Abu Bakar.

Berkata Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Thalhah bin Ubaidillah sungguh telah wajib untukmu surga dan telah disediakan untukmu bidadari yang cantik jelita.” Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Qais bin Abi Hazm (seorang ulama tabiin) berkata, “Aku melihat tangan Thalhah lumpuh, karena melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat Perang Uhud.”

Sungguh pertunjukan pembuktian cinta yang mempesona dari generasi termulia umat ini. Benar, telah tertanam dalam sanubari mereka bahwa cinta butuh pembuktian tidak hanya pengakuan. Allahummarzuqnaa iimaanan shaadiqan.

SYAHID YANG BERJALAN DI ATAS BUMI


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا۟ مَا عَـٰهَدُوا۟ ٱللَّهَ عَلَيۡهِ ۖ فَمِنۡهُم مَّن قَضَىٰ نَحۡبَهُۥ وَمِنۡهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا۟ تَبۡدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada (pula) yang gugur (wafat). Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” [Q.S. Al Ahzab: 23].

Berkata Ibnu Abbas dan Hasan Al Bashri, “Kata مِنۡهُمۡ مَنۡ قَضَى نَحۡبَهُ (di antara mereka ada (pula) yang gugur) adalah orang yang gugur di atas kejujuran (imannya) dan menunaikan janji kepada Allah.” Diriwayatkan dari Isa bin Thalhah bin Ubaidillah, “Bahwasanya seorang Arab badui datang kepada Nabi dan bertanya, “Siapakah (yang disebut dalam ayat) مِنۡهُمۡ مَنۡ قَضَى نَحۡبَهُ (orang yang gugur di atas penunaian janji kepada Allah)?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya. Kemudian dia bertanya lagi dan beliau pun berpaling lagi, kemudian datang Thalhah dari pintu masjid dan dia memakai pakaian hijau, maka Nabi bersabda yang artinya, “Inilah orang yang gugur (wafat) di atas penunaian janji kepada Allah.

Demikian pula dalam hadis yang diriwayatkan dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa menyukai untuk melihat seorang syahid berjalan di atas permukaan bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” [H.R. Tirmidzi dan Hakim dishahihkan Syaikh Al Albani rahimahullah].

WAFATNYA SANG SYAHID


Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah, “Thalhah radhiyallahu ‘anhu ikut terlibat dalam peperangan fitnah melawan pasukan Ali radhiyallahu ‘anhu. Sebagian ulama mengatakan bahwa pada saat gentingnya pertempuran, Ali memanggil dan menyebutkan keutamaan dan terdahulunya Thalhah dalam Islam. Maka Thalhah pun menarik diri dari memerangi Ali. Beliau pun akhirnya meninggalkan shaf peperangan, kemudian terkena anak panah dan mengenai urat kakinya, maka darahnya terus keluar sampai wafat.”

Sungguh kehidupan yang bertabur bunga kemuliaan, pengorbanan, dan perjuangan. Harumnya semerbak sepanjang masa. Jasanya terhadap Islam selalu diingat oleh setiap generasi umat. Semoga kita bisa meneladaninya radhiyallahu ‘anhu.

Referensi:
  • Kitab Sirah Nabawiyyah, karya Ibnu Katsir.
  • Kitab Rakhiqil Makhtum, karya Mubarakfuri.
  • Kitab Al Isti’ab fii Ma’rifatil Ashab, karya Ibnu Abdil Barr.
  • Kitab Al A’lam, karya Zarkali.
  • Kitab Tafsir, karya Thabari.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 54 vol.05 1439 H rubrik Khairul Ummah. Pemateri: Al Ustadz Abu Ma'mar Abbas bin Husein.