Cari Blog Ini

Sang Perwira Wanita

Takjub… mungkin itu perasaan yang kita rasakan jika kita membaca kisah-kisah tentang sosok shahabiyah yang satu ini. Karakter dan jiwa pemberaninya rasanya sulit dicarikan tandingan, terutama pada generasi setelahnya. Sebuah karakter yang biasanya hanya ada pada jiwa para laki-laki, tapi ternyata bisa ada pada seorang wanita… subhanallah. Sulit rasanya mencari kata yang dapat menggambarkan dengan tepat karakter beliau. Hanya pujian kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang seharusnya kita panjatkan, karena hanya dengan keutamaan dari sisi Allah sajalah yang membuat sosok shahabiyah ini menjadi begitu perkasa. Beliau adalah Ummu Umarah radhiyallahu ‘anha.

Namanya adalah Nasibah binti Ka’ab bin Amr bin Auf bin Mabdzul Al Anshariyah, salah seorang penduduk Madinah dari suku Khazraj. Beliau adalah saudara wanita Abdullah bin Ka’ab dan Abdurrahman bin Ka’ab, dua shahabat mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dikenal pula dengan sebutan Ummu Umarah.

Beliau termasuk penduduk Madinah yang terdahulu masuk Islam, sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Yaitu ketika beberapa penduduk Madinah yang terkadang berkunjung dan beribadah ke Makkah ternyata tertarik dan menerima dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka secara berkala mulailah beberapa penduduk Madinah mengikuti pendahulunya untuk mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyatakan keislamannya. Mereka mengadakan perjanjian sumpah setia kepada Rasulullah di Aqabah. Pada Bai’at Aqabah yang pertama berkumpul sekitar 12 orang yang kemudian membawa dan berjanji akan menyampaikan risalah yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tengah kaumnya. Sehingga akhirnya terjadilah Bai’at Aqabah yang kedua dengan mengikutsertakan 70 laki-laki penduduk Madinah, dan 2 orang wanita, di antara keduanya adalah Ummu Umarah radhiyallahu ‘anha.

Ummu Umarah ketika itu berbai’at bersama suami pertamanya Zaid bin Ashim bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Dari suami pertamanya inilah beliau melahirkan dua orang putra yang Allah karuniakan syahid –insya Allah-, yaitu Hubaib bin Zaid dan Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma. Takdir Allah menghendaki terjadinya perpisahan Ummu Umarah dengan suami pertamanya, dan kemudian beliau menikah dengan shahabat Rasulullah yang lain yaitu Ghaziyah bin Amr Al Anshari radhiyallahu ‘anhu.

Ummu Umarah adalah seorang wanita yang sangat perkasa dan pemberani. Bukan hanya jiwanya yang pemberani, akan tetapi keperkasaannya diwujudkan dengan hasil kiprahnya di medan jihad fisabilillah. Bahkan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan para lelakinya tidak ada yang meragukan pengorbanan dan sumbangsih Ummu Umarah dalam peperangan yang diikutinya. Jikalau kita memerhatikan kisah-kisah peperangan yang beliau ikuti, maka rasa heran kita akan berganti dengan kesadaran bahwa tidak ada yang tidak mungkin jikalau Allah menghendaki untuk ada pada sosok wanita keberanian seperti yang dimilikinya.

Perang Uhud adalah ajang pertama yang membuktikan perkara tersebut. Ummu Umarah radhiyallahu ‘anha keluar berjihad dengan suami keduanya Ghaziyah bin Amr dan kedua putra dari suami pertamanya, Abdullah dan Hubaib bin Zaid radhiyallahu ‘anhum. Awalnya tugas Ummu Umarah adalah sebagaimana wanita lainnya yang juga ketika itu ikut dalam rombongan kaum muslimin. Ia hanya memberikan minum dan merawat orang-orang terluka di medan perang. Akan tetapi, ketika Allah ‘azza wa jalla menakdirkan kaum muslimin harus mengambil pelajaran pahit karena melanggar perintah Rasul-Nya untuk tetap berada di tempatnya masing-masing. Yang seharusnya kemenangan awalnya ada di depan mata kaum muslimin, tiba-tiba keadaan berbalik. Musuh berbalik mendesak kaum muslimin yang telah porak poranda barisannya, bahkan mereka sempat berhasil melukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum muslimin bagaikan kehilangan kekuatannya. Mereka berlarian menyelamatkan diri, terlupakan dengan keselamatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itulah Ummu Umarah bersama suami dan kedua putranya merasa terpanggil untuk memberikan perlindungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Ummu Umarah melihat seorang laki-laki yang berlari ke belakang dengan membawa senjata kemudian melemparkannya, maka Ummu Umarah bersegera mengambilnya dan mempergunakannya untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seakan tidak terbesit dalam benaknya ketika itu rasa takut sedikitpun. Suasana perang yang mencekam, dentingan senjata yang berkelebat serta tumpahan darah tidak membuatnya berlari ke belakang sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang pengecut. Baginya, keselamatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang utama. Dakwah membutuhkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembimbing, sebagai panutan dan suri teladan, agama Allah harus ditinggikan. Semua rintangan terasa kecil dibandingkan kerugian besar apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiada. Maka, ketika itu ada sekitar 7 orang Anshar terbunuh untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk Ghaziyah bin Amr radhiyallahu ‘anhu suami beliau. Sebelum akhirnya berdatangan shahabat yang lain memberikan pertolongan dan kemudian Allah takdirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil diselamatkan.

Ummu Umarah radhiyallahu ‘anha sendiri ketika itu terluka parah. Beliau mendapatkan tidak kurang dari 12 luka di tubuhnya karena tusukan senjata. Beliau terus menerus memukulkan senjatanya dalam keadaan tubuhnya terbalut luka. Akan tetapi ia bersama putranya Abdullah berhasil memberikan luka besar kepada Ibnu Qami’ah salah seorang pembesar Quraisy hingga musuh Allah itu harus mengobati lukanya selama satu tahun penuh. Beliau satu-satunya wanita yang Allah takdirkan ikut andil dalam peristiwa genting itu. SubhanAllah.

Tidak cukup sampai di situ. Ketika masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ketika gelombang orang-orang murtad berkembang dan akhirnya khalifah memerintahkan agar pasukan perang kaum muslimin menundukkan orang-orang yang murtad tersebut, maka Ummu Umarah beserta kedua putranya kembali ikut serta dalam peperangan. Bahkan ketika Ummu Umarah meminta izin kepada Khalifah untuk ikut berperang dalam barisan para laki-laki, maka khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq memperbolehkannya, beliau berkata, “Sungguh kami telah melihat pengorbananmu dalam medan jihad, maka keluarlah (berperang) dengan mohon pertolongan Allah.”

Sekalipun Ummu Umarah radhiyallahu ‘anha pada peperangan tersebut harus kehilangan putranya Hubaib yang tertawan oleh Musailamah Al Kadzab, salah satu pemimpin orang-orang murtad tersebut yang mengaku-aku sebagai Nabi. Ummu Umarah tetap tegar meskipun mengetahui bahwa putranya harus menempuh siksaan yang diberikan oleh musuh Allah hingga menemui ajalnya secara mengenaskan dengan tubuh yang terpotong-potong. Bahkan kejadian tersebut tidak mengurungkan niatnya untuk kembali ikut andil dalam peperangan yang lain.

Dalam Perang Yamamah yang diperintahkan oleh Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq untuk menghentikan Musailamah Al Kadzab, Ummu Umarah bersama putranya Abdullah kembali bergabung. Kali ini Allah memberi Ummu Umarah dan putranya kesempatan untuk membalaskan kematian Hubaib bin Zaid. Allah takdirkan musuh Allah tersebut mati di tangan Abdullah bin Zaid dan Wahsiy bin Harb. Alhamdulillah. Ummu Umarah melakukan sujud syukur atas kematian Musailamah, sekalipun putranya Abdullah harus menyusul saudaranya keharibaannya sebagai syahid, insya Allah. Ummu Umarah sendiri mendapatkan belasan luka-luka di tubuhnya dalam peperangan itu, serta terpotong satu lengannya. Akan tetapi kemenangan kaum muslimin dirasakan sebagai obat terindah baginya yang mampu menghilangkan sakit karena sebab luka-luka yang didapatkannya.

Masya Allah, sungguh seorang perwira berwujud wanita. Jarang ditemui wanita dengan keberanian sepertinya. Tidak perlu banyak kata yang terucap di mulutnya untuk menyatakan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Luka demi luka di tubuh sebagai saksi kecintaan yang besar kepada Allah dan Rasul-Nya. Keperkasaan dan pengorbanannya dalam kancah peperangan sebagai bukti kebenaran pengakuan keimanannya. Sungguh, adakah kita mampu sekedar meniru dan mencontoh semangat dan keteladanannya? Allahul Musta’an. Kepada Allah sajalah kita mengeluhkan keburukan jiwa-jiwa dan amalan kita. Semoga kita dimudahkan untuk mengambil pelajaran dari kehidupan beliau yang penuh perjuangan dan pengorbanan. Amin.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 55 vol.05 1439 H rubrik Niswah. Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.