Cari Blog Ini

Wahsyi bin Harb Al Habasyi

Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua hijriah telah menyisakan kesedihan dan kepedihan yang mendalam di hati-hati orang kafir Mekkah. Betapa tidak?! Dalam perang ini terbunuh tidak sedikit dari pimpinan-pimpinan mereka, di antaranya adalah Abu Jahl, Fir’aun umat ini. Perang yang disudahi dengan kemenangan di pihak pasukan muslimin ini, menjadikan penduduk Mekkah yang kafir kala itu menyala-nyala kemarahannya dan merencanakan serangan balas dendam. Genap setahun orang-orang kafir Mekkah berkabung atas kematian para tokoh mereka dan di sela-sela itu mereka menggalang kekuatan dan dana untuk mendukung serangan balas dendam. Maka pada tahun ketiga hijriah pasukan kafir Mekkah merayap menuju Madinah. Dua pasukan bertemu di Uhud, terjadilah pertempuran dahsyat. Dalam pertempuran ini para sahabat nabi menampakkan pengorbanannya yang luar biasa. Di antara mereka adalah jawara muslimin Hamzah bin Abdil Muththalib, singa Allah dan paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti biasanya Hamzah sang jawara tampil begitu piawainya.

Namun, hanya Allah yang tahu bahwa sang jawara ini akan tumbang di tangan seorang budak kafir milik Jubair bin Muth’im yang bernama Wahsyi. Sang jawara tumbang bukan dalam keadaan berhadap-hadapan dengan lawan seperti layaknya para jawara yang tumbang, akan tetapi ia ditombak secara sembunyi-sembunyi oleh Wahsyi.

Berkata Wahsyi bin Harb, “Dahulu aku seorang budak milik Jubair bin Muth’im yang pamannya – Thu’aimah bin Adi- terbunuh dalam Perang Badar. Ketika pasukan Quraisy merayap menuju Uhud, Jubair berkata kepadaku, “Jika kamu bisa membunuh Hamzah, paman Muhammad sebagai tebusan terhadap pamanku maka kamu merdeka.” Aku pun ikut berangkat bersama manusia dan aku seorang dari Habasyah yang pandai memainkan tombak seperti layaknya orang Habasyah. Jarang meleset lemparanku dari sasaran.

Saat dua pasukan telah bertempur aku pun keluar mencari-cari Hamzah. Aku pun melihat Hamzah di tengah-tengah manusia seperti unta kelabu memporak-porandakan lawan dan tidak ada yang berani menghadapinya. Demi Allah aku sudah mempersiapkan diri untuk membunuhnya dan aku bersembunyi di balik pohon atau bebatuan agar ia mendekat kepadaku.

Tiba-tiba maju dihadapanku Siba’ bin Abdil ‘Uzza, tatkala Hamzah melihatnya ia mengatakan kepada Siba’, “Ayo kemari wahai anaknya pemotong kemaluan.” (ibunya Siba’ seorang juru khitan/ sunat). Hamzah langsung menebasnya dan tepat mengenai kepalanya. Segera aku gerakkan tombakku sehingga ketika aku yakin telah tepat sasaran aku pun melontarkan tombak kepadanya dan tepat mengenai perutnya sehingga ususnya keluar di antara kedua kakinya. Hamzah bergerak dengan susah payah untuk menghampiriku namun ia tidak mampu. Saya biarkan Hamzah dengan tombak yang menancap itu sampai dia mati. Kemudian aku mendatanginya untuk mengambil tombakku lalu aku kembali ke markas pasukan dan hanya duduk di sana. Aku tidak ada urusan selain membunuh Hamzah. Aku lakukan itu agar aku merdeka. Ketika sampai di Mekkah aku pun dimerdekakan.”

Wahsyi juga sempat membelah perut Hamzah dan mengambil hatinya lalu memberikannya kepada Hindun binti Utbah.

WAHSYI MASUK ISLAM


Hidayah dari Allah tidak bisa diduga. Ketika Kota Mekkah ditaklukkan dan manusia berbondong-bondong masuk Islam, Wahsyi adalah salah satu di antara mereka. Bahkan dia ikut di dalam delegasi orang-orang Thaif untuk menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesampainya mereka di Madinah dan bertemu Rasulullah, maka beliau melihat Wahsyi, Rasulullah bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?” Kata Wahsyi, “Iya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau yang dahulu membunuh Hamzah?” “Seperti itulah sebagaimana berita yang sampai kepada Anda.” Jawab Wahsyi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bisakah engkau menyembunyikan wajahmu dariku?” Maka Wahsyi pun keluar. (Shahih Al Bukhari no : 4072).

Kisah di atas tadi tidak menunjukkan bahwa nabi menolak keislaman Wahsyi, bagaimana mungkin Nabi menolak padahal beliaulah yang berkata kepada sahabat ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu yang artinya “Wahai ‘Amr, tidakkah kamu tahu bahwa Islam itu menghapus dosa sebelumnya?” [Hadis Shahih riwayat Ahmad 4/205]

Yakni, seorang yang kafir apabila masuk Islam maka dosa-dosa yang dilakukan sebelum menjadi seorang muslim diampuni. Sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat Wahsyi bukan pula bentuk dendam kepada Wahsyi, akan tetapi bisa jadi jika beliau melihat Wahsyi akan teringat Hamzah radhiyallahu ‘anhu pamannya. Sehingga yang demikian ini mungkin bisa menyebabkan kesedihan Beliau. Wallahu a’lam.

WAHSYI RADHIYALLAHU ‘ANHU MEMBUNUH NABI PALSU


Masa pemerintahan Abu Bakar adalah masa-masa tersulit yang dialami oleh Khulafa’u rasyidun. Pada masa ini tidak sedikit dari kabilah-kabilah Arab murtad dari Islam. Sebagian yang lain menolak memberikan zakat dan sebagian yang lain mengikuti para Nabi palsu semisal Musailamah Al Kadzab, Al Aswad Al ‘Ansi, dan Sajjah. Abu Bakar menghadapi problem-problem tersebut dengan keteguhan.

Beliau mengirim pasukan menuju Bani Hanifah kaumnya Musailamah bin Habib Al Yamami untuk mengajak kembali masuk Islam. Namun, Bani Hanifah sangat fanatik terhadap Musailamah. Dengan kefanatikan itu mereka bersikukuh bahwa Musailamah adalah nabi. Maka, pertempuran sengitpun tak bisa dihindarkan. Sepertinya para sahabat Nabi belum pernah menghadapi musuh sedahsyat ini, namun mereka terus bersabar dengan kesabaran yang belum pernah didapatkan seperti kala itu.

Saat Bani Hanifah terjepit mereka menutup kebun mereka dan digunakan sebagai benteng. Di dalam benteng ada thaghut mereka si nabi palsu, Musailamah. Para sahabat mengepung benteng kebun ini. Al Bara’ bin Malik meminta untuk dilemparkan ke dalam benteng dan bertekad untuk membuka pintunya. Pasukan muslimin mengangkat Al Bara’ dan melemparkannya ke dalam benteng. Ketika telah turun ia langsung menyerang para penjaga benteng hingga mampu membuka pintunya. Dengan memakai katapel, pasukan muslimin merangsek masuk ke benteng membunuh orang-orang yang murtad hingga mereka menemukan pimpinan mereka yaitu Musailamah. Maka sahabat Wahsyi bin Harb radhiyallahu ‘anhu maju dengan melemparkan tombaknya yang dahulu ia gunakan untuk membunuh Hamzah. Tombak tersebut tepat mengenai tubuh Musailamah hingga tembus sementara Abu Dujanah bersegera menebaskan pedangnya kepada Musailamah hingga roboh. Wahsyi berharap dengan membunuh Musailamah ia telah menebus kesalahannya dahulu ketika ia membunuh Hamzah.

WAHSYI MENGIKUTI PERANG YARMUK


Perang ini terjadi pada tahun 15 H di masa Khalifah Umar bin Al Khaththab. Sebab peperangan ini adalah ketika Heraklius Raja Romawi semakin khawatir melihat kemenangan-kemenangan di pihak muslimin. Maka ia pun mengumpulkan seluruh pasukannya. Panglima pasukan ia serahkan kepada saudaranya. Berkumpullah pasukan Romawi di tepi Sungai Yarmuk, salah satu sungai kecil di wilayah Jordania. Pasukan muslimin di bawah pimpinan Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu bermarkaz tepat di depan pasukan Romawi.

Abu Ubaidah menunjuk Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu untuk mengatur pasukan. Maka Khalid merapikan pasukan dengan pengaturan yang luar biasa, belum pernah dilakukan oleh orang Arab sebelumnya. Pasukan berkuda muslimin menggempur pasukan Romawi dengan penuh keberanian hingga mampu memisahkan antara pasukan penunggang kuda Romawi dengan pasukan pejalan kakinya. Larilah pasukan berkuda Romawi ke belakang setelah gugur ribuan dari mereka akibat serangan yang gagah berani dari pasukan penunggang kuda kaum muslimin. Setelah itu pasukan muslimin mengarahkan serangannya kepada pasukan pejalan kaki Romawi yang sebagian mereka sudah mulai gugur pula karena terbunuh atau tenggelam di sungai. Akhirnya kemenangan berada di pihak muslimin. Dalam perang ini, pasukan Romawi terbunuh lebih dari 100.000 orang. Adapun dari kaum muslimin, syahid insya Allah sekitar 3000 orang.

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah, “Wahsyi ikut dalam perang Yarmuk, kemudian menetap di Homsh dan meninggal di sana. Semoga Allah meridhainya.”

Bahan bacaan:
  1. Al Ishabah Ibnu Hajar
  2. Al Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir
  3. Ar Rahiq Al Makhtum

Sumber: Majalah Qudwah edisi 36 vol.03 1437 H/ 2016 M rubrik Khairul Ummah halaman 21-24. Pemateri: Al Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.