Cari Blog Ini

PEMBAWA BENDERA JARH WA TA’DIL

“Aku belum pernah melihat ulama selevel dengannya dan kami belum pernah menjumpai sejak zamannya Adam hingga saat ini ada manusia yang menulis hadis sebanyak yang dia capai,” tutur Ali Madini rahimahullah. Siapa gerangan ulama ini hingga Ali Al Madini begitu kagum dan memujinya setinggi langit? 

Dia adalah ulama dengan kemampuan menulis hadis yang sangat luar biasa. Ratusan ribu hadis atau bahkan jutaan hadis telah dia torehkan di atas kertas. Memang kemuliaan ulama yang satu ini dalam ilmu hadis telah mendunia. Nama beliau sangat familiar bagi orang-orang yang menggeluti ilmu Jarh wa Ta’dil. Sezaman dengan sekian ulama besar seperti Imam Ahmad rahimahullah atau semisalnya tidaklah membuat kewibawaannya meredup. Dia lah Imam Yahya bin Ma’in, seorang pakar hadis dan pembawa bendera Jarh wa Ta’dil di masanya. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Main bin Aun bin Ziyad bin Bustham rahimahullah dengan kunyah Abu Zakariya.

PERKEMBANGAN ILMIYAHNYA 


Terlahir pada tahun 158 Hijriyah di Kota Baghdad dan tumbuh besar di kota tersebut. Yahya bin Main menuturkan, “Aku dilahirkan pada masa kekhilafahan Ja’far pada akhir tahun 158 H.” Sejatinya beliau adalah penduduk asli dari Anbar namun tumbuh di Baghdad. Suasana keluarga yang dinamis dengan basic agama kuat sangat mendukungnya dalam mempelajari ilmu agama. Sang ayahanda, Main adalah seorang penulis cerdas yang mengabdi kepada Abdullah bin Malik. Tak heran jika pada usia 20 tahun, Yahya bin Main telah mampu menulis ilmu agama dengan baik. 

Talenta yang sangat luar biasa sudah terlihat sejak masih belia. Pemuda yang cerdas ini sangat antusias belajar ilmu agama para ulama di kotanya. Sungguh beliau adalah cermin yang sangat indah untuk pemuda Islam saat ini. Betapa tidak, totalitasnya dalam menutut ilmu agama sangat mengagumkan. Sewaktu sang ayah meninggal, beliau mendapatkan warisan sebesar satu juta dirham. Apa yang beliau lakukan dengan uang sebanyak itu? Untuk membeli rumah, modal usaha atau apa?.. Subhanallah, ternyata beliau menggunakan seluruh uang itu untuk menuntut ilmu hadis! Sampai tidak ada sepeserpun uangnya yang tersisa dan bahkan sandal pun beliau tak punya. 

Petualangan beliau dalam menuntut ilmu hadis dimulai dengan belajar kepada ulama-ulama besar. Beliau pernah meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin Uyainah, Abdurrazak Ash Shan’ani di Yaman. Juga Waki’ bin Jarrah, Yahya bin Sa’id Al Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, Husyaim bin Basyir, Ismail bin Ayyas dan masih banyak lagi baik di Irak, Syam, Jazirah, Mesir, Hijaz, dan yang lainnya. 

Murid-murid beliau juga sangat banyak dan masuk deretan ulama-ulama besar. Semisal Imam Ahmad, Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abbad Ad Dauri, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Hatim Ar Razi, Utsman bin Said Ad Darimi, dan sekian ulama yang tak terhitung jumlahnya. Karena usianya yang lebih tua dan senior, Yahya bin Main adalah figur ulama yang sangat dihormati oleh murid-muridnya. Beliau adalah ulama berwibawa yang terbiasa berpakaian rapi dan menawan.

SANJUNGAN ULAMA 


Kehebatan Yahya bin Main rahimahullah dalam ilmu periwayatan hadis sangat populer di kalangan ulama. Tidak hanya kaum muslimin yang segan terhadap beliau, bahkan para ulama sekalipun. Beliau adalah ulama yang sangat teguh dan teliti dalam ilmu Jarh wa Ta’dil. Sehingga komentar beliau sangat berbobot dan diperhitungkan oleh ulama. Seorang perawi yang dijarh (dicela) oleh beliau bisa jatuh kredibilitasnya di mata ulama.

Abdul Khaliq bin Manshur rahimahullah mengatakan, “Aku pernah mendengar sebagian ahli hadis membacakan hadis-hadisnya Yahya bin Main seraya berkata, ‘Telah menyampaikan kepadaku seorang ulama yang matahari tidak akan pernah terbit lagi untuk ulama sebesar ini.’” Simak pujian Ahmad bin Hanbal rahimahullah kepadanya, “Setiap hadis yang tidak diketahui oleh Yahya bin Main, maka sejatinya itu bukan hadis. Yahya bin Main adalah manusia yang Allah ciptakan untuk menjaga keotentikan hadis dan memperlihatkan kedustaan para pendusta.”

Satu hal yang maklum bahwa ilmu Jarh wa ta’dil mempunyai peranan yang sangat vital dalam Islam. Dengannya akan terjaga keabsahan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari upaya pemalsuan kaum orientalis atau kedustaan orang-orang jahil. Dan andil beliau dalam hal ini memang patut disyukuri oleh kaum muslimin. Abu Said Al Haddad berkata, “Seluruh manusia berhutang budi kepada Yahya bin Main.” Maka Ibnu Ar Rumi rahimahullah menimpali, “Itu benar, tidak ada satupun orang yang menyamainya dalam hal ini. Yahya telah mendahului orang-orang di masanya dalam hal ini. Adapun tentang generasi setelahnya maka aku tidak mengetahuinya.” Sementara itu Ali Al Madini rahimahullah menyatakan, “Ilmu manusia berujung kepada Yahya bin Main.” 

Komitmen Yahya bin Main rahimahullah dalam berpegang teguh dan membela sunah tidak perlu diragukan lagi, beliau menegaskan, “Andaikan seluruh ahli bidah menjadi lawan perseteruanku pada hari kiamat nanti, maka itu lebih baik bagiku daripada lawanku adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan karena aku tidak mau membela sunnahnya.” Dalam sekian banyak kesempatan Yahya bin Main juga menyatakan bahwa Al Quran adalah Kalamullah dan bukan makhluk. Iman adalah ucapan dan amalan yang bisa bertambah dengan ketaatan atau berkurang dengan kemaksiatan.

Beliau memang kritikus yang sangat handal dengan ketelitian yang luar biasa. Hingga Ahmad bin Hanbal rahimahullah pun merujuk kepadanya. Ibnu Ar Rumi berkisah, “Ketika aku bersama Imam Ahmad, tiba-tiba seseorang datang dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah (kunyah Imam Ahmad), lihatlah hadis ini, sesungguhnya dalam hadis ini ada kesalahan.” Maka Imam Ahmad menjawab, “Anda semestinya datang menemui Abu Zakariya (Yahya bin Main), karena dia yang mengetahui tentang kesalahan dalam hadis.” 

KEWIBAWAANNYA 


Kedudukan beliau sangat tinggi di hadapan ulama-ulama senior dan dihormati para perawi hadis. Di antara sekian bukti adalah apa yang dikisahkan Ibnu Adi rahimahullah dalam kitabnya Al Kamil berikut ini. Harun bin Ma’ruf rahimahullah menuturkan, “Suatu saat datang kepada kami sebagian Syaikh dari negeri Syam. Maka akulah yang pertama kali bergegas menyambutnya. Aku masuk menemuinya lalu meminta kepadanya untuk mendiktekan riwayat hadis kepadaku. Maka Syaikh itu mengambil kitabnya dan mulai mendiktekan hadisnya kepadaku. Namun tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumah. Maka Syaikh bertanya, “Siapa itu?” “Ahmad bin Hanbal.” Jawabnya. Lalu Syaikh mengizinkannya untuk masuk. Sementara dia tetap berada dalam posisinya semula dengan kitab di tangannya tanpa bergerak sama sekali. Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dari arah yang sama. Syaikh kembali bertanya, “Siapa itu?” “Ahmad Ad Dauraqi.” Tukasnya dari balik pintu. Syaikh memberi izin kepadanya untuk masuk, namun tetap dalam kondisi memegang kitab tanpa bergerak sedikit pun. Selang beberapa saat kemudian kembali terdengar ketukan pintu, maka Syaikh bertanya, “Siapa itu?” “Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb.” Jawabnya. Syaikh tetap memegang kitab tanpa melakukan gerakan sama sekali. Kembali terdengar ketukan untuk yang keempat kalinya dan Syaikh bertanya, “Siapa?” “Yahya bin Main.” Jawab laki-laki tersebut. Seketika itu aku melihat Syaikh terkejut dan bergetar tangannya hingga kitab yang ada di tangannya terjatuh.” 

Sepenggal kisah di atas juga menunjukkan kerendahan hati Ibnu Main dalam menuntut ilmu agama. Status beliau sebagai imam dan pakar hadis tidak menghalanginya untuk belajar ilmu agama. Tidak merasa sombong dan angkuh dengan kapasitas ilmu yang dimiliki. Demikian halnya para imam ahli hadis yang lainnya seperti Imam Ahmad, Zuhair bin Harb, dan yang lainnya. Satu fenomena indah yang sangat jarang dijumpai pada zaman ini di kalangan para penuntut ilmu agama.

WAFATNYA 


Beliau meninggal pada tahun 233 H pada bulan Dzulhijjah di Madinah dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji. Muhammad bin Yusuf Al Bukhari rahimahullah berkisah, “Dahulu kami bersama Yahya bin Main dalam pelaksanaan ibadah haji. Kami masuk Madinah pada malam Jum’at dan pada malam itulah Yahya meninggal dunia. Di pagi harinya orang-orang di Madinah telah mendengar berita tentang kedatangan Yahya dan kematiannya. Orang-orang pun berkumpul hingga datanglah Bani Hasyim seraya berkata, “Kami akan mengeluarkan Al A’wad tempat dimandikannya jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Namun para hadirin nampaknya tidak menyukai usulan tersebut. Kondisi demikian membuat masing-masing orang angkat bicara dan suasana menjadi ricuh. Maka Bani Hasyim mengatakan, “Kami mempunyai kedudukan yang lebih utama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Yahya bin Main pantas untuk dimandikan di sana.” Akhirnya Yahya dimandikan di tempat tersebut lalu dimakamkan pada hari Jum’at bulan Dzulhijjah.” Subhanallah, Yahya wafat pada malam Jum’at dalam keadaan khusnul khatimah insya Allah karena beliau meninggal tatkala melakukan ibadah haji. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada beliau. 


Sumber: Majalah Qudwah edisi 59 vol.05 1439 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.