Cari Blog Ini

Ad-Dararil Mudhiyyah - Bab Riwayat tentang Pengasuhan Anak

بَابُ مَاجَاءَ فِي الۡحَضَانَةِ

الۡأَوۡلَى بِالطِّفۡلِ أُمُّهُ، مَالَمۡ تُنۡكَحۡ، ثُمَّ الۡخَالَةُ، ثُمَّ الۡأَبُ، ثُمَّ يُعَيِّنُ الۡحَاكِمُ مِنَ الۡقَرَابَةِ مَنۡ رَأَى فِيهِمۡ صَلَاحًا، وَبَعۡدَ بُلُوغِ سِنِّ الۡاسۡتِقۡلَالِ يُخَيَّرُ الصَّبِيُّ بَيۡنَ أَبِيهِ وَأُمِّهِ، فَإِنۡ لَمۡ يُوجَدَا كَفَلَهُ مَنۡ كَانَ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ مَصۡلَحَةٌ.
Yang paling berhak terhadap anak adalah ibunya selama si ibu belum menikah lagi. Kemudian khalah (saudara perempuan ibu). Kemudian ayah. Kemudian hakim menentukan di antara kerabat si anak, orang yang dia anggap baik. Setelah si anak sampai usia mandiri, dia diberi pilihan antara ayah dan ibunya. Jika tidak didapati ayah atau ibunya, maka yang mengurusnya adalah orang yang pengurusannya dapat membawa maslahat bagi si anak itu.
أَقُولُ: أَمَّا الۡأُمُّ، فَلِحَدِيثِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَمۡرٍو: (أَنَّ امۡرَأَةً قَالَتۡ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ ابۡنِي هَٰذَا كَانَتۡ بَطۡنِي لَهُ وِعَاءً، وَحَجۡرِي لَهُ حِوَاءً، وَثَدۡيِي لَهُ سِقَاءً، وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنۡزِعُهُ مِنِّي، فَقَالَ: أَنۡتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمۡ تَنۡكِحِي) أَخۡرَجَهُ أَحۡمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالۡبَيۡهَقِيُّ، وَالۡحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَقَدۡ وَقَعَ الۡإِجۡمَاعُ عَلَى أَنَّ الۡأُمَّ أَوۡلَى مِنَ الۡأَبِ. وَحَكَى ابۡنُ الۡمُنۡذِرِ الۡإِجۡمَاعَ عَلَى أَنَّ حَقَّهَا يَبۡطُلُ بِالنِّكَاحِ. وَقَدۡ رُوِيَ عَنۡ عُثۡمَانَ أَنَّهُ لَا يَبۡطُلُ بِالنِّكَاحِ، وَإِلَيۡهِ ذَهَبَ الۡحَسَنُ الۡبَصۡرِيُّ وَابۡنُ حَزۡمٍ، وَاحۡتَجُّوا بِبَقَاءِ ابۡنِ أُمِّ سَلَمَةَ فِي كَفَالَتِهَا بَعۡدَ أَنۡ تَزَوَّجَتۡ بِالنَّبِيِّ ﷺ. وَيُجَابُ عَنۡ ذٰلِكَ بِأَنَّ مُجَرَّدَ الۡبَقَاءِ مَعَ عَدَمِ الۡمُنَازِعِ لَا يُحۡتَجُّ بِهِ لِاحۡتِمَالِ أَنَّهُ لَمۡ يَبۡقَ لَهُ قَرِيبٌ غَيۡرُهَا، وَاحۡتَجُّوا أَيۡضًا بِمَا سَيَأۡتِي فِي حَدِيثِ ابۡنَةِ حَمۡزَةَ، فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَضَى بِأَنَّ الۡحَقَّ لِخَالَتِهَا، وَكَانَتۡ تَحۡتَ جَعۡفَرِ بۡنِ أَبِي طَالِبٍ، وَقَدۡ قَالَ: الۡخَالَةُ بِمَنۡزِلَةِ الۡأُمِّ، وَيُجَابُ عَنۡ هَٰذَا بِأَنَّهُ لَا يَدۡفَعُ النَّصَّ الۡوَارِدَ فِي الۡأُمِّ، وَيُمۡكِنُ أَنۡ يُقَالَ إِنَّ هَٰذَا يَكُونُ دَلِيلًا عَلَى مَا ذَهَبَتۡ إِلَيۡهِ الۡحَنَفِيَّةُ وَالۡهَادَوِيَّةُ مِنۡ أَنَّ النِّكَاحَ إِذَا كَانَ بِمَنۡ هُوَ رَحِمٌ لِلصَّغِيرِ فَلَا يُبۡطِلُ بِهِ الۡحَقَّ، وَيَكُونُ حَدِيثُ ابۡنَةِ حَمۡزَةَ مُقَيِّدًا لِقَوۡلِهِ ﷺ: (مَالَمۡ تَنۡكِحِي).
Aku (Al-Imam Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah) berkata:
Ibu (yang paling berhak mengasuh anak) berdasarkan hadis ‘Abdullah bin ‘Amr: Bahwa ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya putraku ini, dahulunya perutku adalah tempat untuknya, pangkuanku adalah tempat berlindung baginya, dan payudaraku adalah tempat minum baginya, kemudian ayahnya menyatakan akan mengambilnya dariku.” Nabi bersabda, “Engkau lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum menikah lagi.”[1] Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim. Al-Hakim menilainya sahih.
Telah terjadi kesepakatan bahwa ibu lebih berhak daripada ayah. Ibnu Al-Mundzir mengisahkan kesepakatan bahwa hak ibu menjadi batal karena pernikahannya.
Namun juga diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa hak pengasuhan tidak menjadi batal karena pernikahan. Yang berpendapat seperti ini adalah Al-Hasan Al-Bashri dan Ibnu Hazm. Mereka beralasan dengan tetapnya putra Ummu Salamah berada di bawah asuhan ibunya setelah Ummu Salamah menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu bisa dijawab, bahwa semata-mata tetapnya putra Ummu Salamah tanpa ada orang yang ingin mengambilnya, tidak bisa dijadikan alasan. Karena ada kemungkinan anak itu tidak memiliki kerabat selain Ummu Salamah.
Mereka juga beralasan dengan hadis putri Hamzah yang akan datang. Alasannya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan hak pengasuhan kepada khalah-nya (bibi dari garis ibu/saudara perempuan ibu), yang ketika itu merupakan istri Ja’far bin Abu Thalib. Dan Nabi bersabda, “Khalah berkedudukan seperti ibu.”[2] Namun alasan itu bisa dijawab bahwa hadis itu tidak bisa menolak nas yang ada tentang ibu. Mungkin juga untuk dikatakan bahwa hadis ini merupakan dalil pendapat yang dipegangi oleh mazhab Hanafi dan Hadawiyyah bahwa jika si ibu menikah dengan orang yang merupakan kerabat si anak kecil, maka tidak membatalkan hak pengasuhan si ibu. Dan hadis putri Hamzah membatasi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Selama engkau belum menikah.”
وَأَمَّا كَوۡنُ الۡخَالَةُ أَوۡلَى بَعۡدَ الۡأُمِّ مِمَّنۡ عَدَاهَا، فَلِحَدِيثِ الۡبَرَاءِ بۡنِ عَازِبٍ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا: (أَنَّ ابۡنَةَ حَمۡزَةَ اخۡتَصَمَ فِيهَا عَلِيٌّ وَجَعۡفَرٌ وَزَيۡدٌ، فَقَالَ عَلِيٌّ: أَنَا أَحَقُّ بِهَا هِيَ ابۡنَةُ عَمِّي، وَقَالَ جَعۡفَرٌ: بِنۡتُ عَمِّي وَخَالَتُهَا تَحۡتِي، وَقَالَ زَيۡدٌ: ابۡنَةُ أَخِي، فَقَضَى بِهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ لِخَالَتِهَا وَقَالَ: الۡخَالَةُ بِمَنۡزِلَةِ الۡأُمِّ). وَالۡمُرَادُ بِقَوۡلِ زَيۡدٍ ابۡنَةُ أَخِي أَنَّ حَمۡزَةَ قَدۡ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ آخَي بَيۡنَهُمَا. وَوَجۡهُ الۡاسۡتِدۡلَالِ بِهَٰذَا الۡحَدِيثِ أَنَّهُ قَدۡ ثَبَتَ بِالۡإِجۡمَاعِ أَنَّ الۡأُمَّ أَقۡدَمُ الۡحَوَاضِنِ، فَمُقۡتَضَى التَّشۡبِيهِ أَنَّ الۡخَالَةَ أَقۡدَمُ مِنۡ غَيۡرِهَا مِنۡ غَيۡرِ فَرۡقٍ بَيۡنَ الۡأَبِ وَغَيۡرِهِ، وَقَدۡ قِيلَ: إِنَّ الۡأَبَ أَقۡدَمُ مِنۡهَا إِجۡمَاعًا وَلَيۡسَ ذٰلِكَ بِصَحِيحٍ، وَالۡخِلَافُ مَعۡرُوفٌ وَالۡحَدِيثُ يَحُجُّ مَنۡ خَالَفَهُ.
Adapun khalah (bibi dari garis ibu/saudara perempuan ibu) lebih berhak setelah ibu daripada orang lain, maka berdasar hadis Al-Bara` bin ‘Azib di dalam dua kitab Shahih dan selainnya: Bahwa pengasuhan putri Hamzah diperebutkan oleh ‘Ali, Ja’far, dan Zaid. ‘Ali berkata, “Aku lebih berhak terhadapnya. Dia putri pamanku.” Ja’far berkata, “Dia putri pamanku dan khalah-nya adalah istriku.” Zaid berkata, “Dia adalah putri saudaraku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan pengasuhan putri Hamzah untuk khalah-nya dan beliau bersabda, “Khalah berkedudukan seperti ibu.”[3] Maksud ucapan Zaid bahwa putri Hamzah adalah putri saudaraku karena Hamzah dahulu pernah dipersaudarakan dengan Zaid oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sisi pendalilan dengan hadis ini bahwa telah pasti ada kesepakatan bahwa ibu adalah pengasuh anak yang paling didahulukan, sehingga konsekuensi dari penyerupaan (antara khalah dengan ibu) adalah khalah lebih didahulukan daripada selain dia, tanpa membedakan apakah ayah atau selain ayah.
Ada yang berpendapat bahwa ayah lebih didahulukan daripada khalah berdasarkan ijmak. Namun pernyataan itu tidak sahih dan perselisihan pendapat dalam hal ini sudah makruf. Hadis ini menjadi argumen pihak yang menyelisihi pendapat ini.
وَأَمَّا إِثۡبَاتُ حَقِّ الۡأَبِ فِي الۡحَضَانَةِ، فَهُوَ وَإِنۡ لَمۡ يَرِدۡ دَلِيلٌ يَخُصُّهُ، لَكِنَّهُ قَدۡ اسۡتُفِيدَ مِنۡ قَوۡلِهِ ﷺ لِلۡأُمِّ: (أَنۡتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمۡ تَنۡكِحِي)، فَإِنَّ هَٰذَا يَدُلُّ عَلَى ثُبُوتِ أَصۡلِ الۡحَقِّ لِلۡأَبِ بَعۡدَ الۡأُمِّ، وَمَنۡ بِمَنۡزِلَتِهَا وَهِيَ الۡخَالَةُ، وَكَذٰلِكَ إِثۡبَاتُ التَّخۡيِيرِ بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ الۡأُمِّ فِي الۡكَفَالَةِ؛ فَإِنَّهُ يُفِيدُ إِثۡبَاتَ حَقٍّ لَهُ فِي الۡجُمۡلَةِ.
Adapun penetapan ada hak bagi ayah dalam pengasuhan anak, maka meskipun tidak ada dalil yang mengkhususkannya, akan tetapi diambil faedah dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk si ibu, “Engkau lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum menikah.” Sesungguhnya hadis ini menunjukkan ketetapan asal hak untuk si bapak setelah si ibu dan orang yang berkedudukan seperti ibu, yaitu khalah (saudara perempuan ibu). Demikian pula penetapan adanya pemberian pilihan pada si anak antara ayah dengan ibu dalam hal pengurusan anak. Hal itu memberi faedah penetapan hak bagi si ayah secara umum.
وَأَمَّا كَوۡنُهُ يُعَيِّنُ الۡحَاكِمُ مِنَ الۡقَرَابَةِ مَنۡ رَأَى فِيهِ صَلَاحًا، فَلِأَنَّهُ إِذَا عَدَمَتِ الۡأُمُّ وَالۡخَالَةُ وَالۡأَبُ، وَالصَّبِيُّ مُحۡتَاجٌ إِلَى مَنۡ يَحۡضُنُهُ بِالضَّرُورَةِ وَالۡقَرَابَةُ أَشۡفَقُ بِهِ، فَيُعَيِّنُ الۡحَاكِمُ مَنۡ يَقُومُ بِأَمۡرِهِ مِنۡهُمۡ مِمَّنۡ يَرَى فِيهِ صَلَاحًا لِلصَّبِيِّ. وَقَدۡ أَخۡرَجَ عَبۡدُ الرَّزَّاقِ عَنۡ عِكۡرِمَةَ قَالَ: (إِنَّ امۡرَأَةَ عُمَرَ بۡنِ الۡخَطَّابِ خَاصَمَتۡهُ إِلَى أَبِي بَكۡرٍ فِي وَلَدٍ عَلَيۡهَا؛ فَقَالَ أَبُو بَكۡرٍ: هِيَ أَعۡطَفُ وَأَلۡطَفُ وَأَرۡحَمُ وَأَحۡنَى، وَهِيَ أَحَقٌّ بِوَلَدِهَا مَا لَمۡ تَتَزَوَّجۡ)، فَهَٰذِهِ الۡأَوۡصَافُ تُفِيدُ أَنَّ أَبَا بَكۡرٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ جَعَلَ الۡعِلَّةَ الۡعَطۡفَ وَاللُّطۡفَ وَالرَّحۡمَةَ وَالۡحُنُوَّ.
Adapun hakim menentukan di antara kerabatnya, orang yang dia anggap baik, maka hal itu karena ketika tidak ada ibu, khalah, dan ayah, kemudian si anak pasti butuh orang yang mengasuhnya sementara yang paling sayang dengannya adalah kerabatnya, maka hakim menentukan orang yang mengurusi urusannya di antara mereka yang dia anggap ada kebaikan untuk si anak.
‘Abdurrazzaq telah meriwayatkan dari ‘Ikrimah. Beliau berkata: Sesungguhnya istri ‘Umar bin Al-Khaththab (yang telah diceraikan) mengadukan ‘Umar kepada Abu Bakr dalam hal pengasuhan anak. Abu Bakr berkata, “Dia lebih cinta, lebih lembut, lebih sayang, dan lebih mengasihi. Dan dia lebih berhak terhadap anaknya selama dia belum menikah lagi.” Sifat-sifat ini memberi faedah bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menjadikan faktor penyebabnya adalah rasa cinta, lembut, sayang, dan mengasihi.
وَأَمَّا كَوۡنُهُ يَثۡبُتُ التَّخۡيِيرُ لِلصَّبِيِّ بَعۡدَ بُلُوغِ سِنِّ الۡاسۡتِقۡلَالِ بَيۡنَ الۡأُمِّ وَالۡأَبِ، فَلِحَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ عِنۡدَ أَحۡمَدَ وَأَهۡلِ السُّنَنِ وَصَحَّحَهُ التِّرۡمِذِيُّ. (أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَيَّرَ غُلَامًا بَيۡنَ أَبِيهِ وَأُمِّهِ). وَفِي لَفۡظٍ: (أَنَّ امۡرَأَةً جَاءَتۡ فَقَالَتۡ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ زَوۡجِي يُرِيدُ أَنۡ يَذۡهَبَ بِابۡنِي، وَقَدۡ سَقَانِي مِنۡ بِئۡرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدۡ نَفَعَنِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: اسۡتَهِمَا عَلَيۡهِ؛ قَالَ زَوۡجُهَا: مَنۡ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ هَٰذَا أَبُوكَ وَهَٰذِهِ أُمُّكَ؛ فَخُذۡ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئۡتَ، فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ، فَانۡطَلَقَتۡ بِهِ) أَخۡرَجَهُ أَهۡلُ السُّنَنِ وَابۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَصَحَّحَهُ التِّرۡمِذِيُّ وَابۡنُ حِبَّانَ وَابۡنُ الۡقَطَّانِ؛ وَأَخۡرَجَ أَحۡمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ، وَابۡنُ مَاجَة، وَالدَّارَقُطۡنِيُّ مِنۡ حَدِيثِ عَبۡدِ الۡحَمِيدِ بۡنِ جَعۡفَرٍ الۡأَنۡصَارِيِّ عَنۡ جَدِّهِ: (أَنَّ جَدَّهُ أَسۡلَمَ وَأَبَتۡ امۡرَأَتُهُ أَنۡ تُسۡلِمَ، فَجَاءَ بِابۡنٍ صَغِيرٍ لَهُ لَمۡ يَبۡلُغۡ، قَالَ: فَأَجۡلَسَ النَّبِيُّ ﷺ الۡأَبَ هَهُنَا، وَالۡأُمَّ هَهُنَا، ثُمَّ خَيَّرَهُ وَقَالَ: اللّٰهُمَّ اهۡدِهِ، فَذَهَبَ إِلَى أَبِيهِ.
Adapun tetapnya pemberian pilihan bagi anak setelah sampai usia mandiri antara ibu dan ayah, maka berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menurut riwayat Ahmad dan penyusun kitab Sunan. Hadis ini dinilai sahih oleh At-Tirmidzi. Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepada anak antara ayah dan ibunya.[4]
Dalam lafal lain: Bahwa ada seorang wanita datang seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku ingin untuk pergi membawa putraku, padahal anakku telah mengambilkan air untukku dari sumur Abu ‘Inabah dan dia telah memberi manfaat untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Undilah dia!”
Suaminya berkata, “Siapa yang merasa lebih pantas terhadap anakku daripada aku?”
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada si anak), “Ini ayahmu dan ini ibumu. Peganglah tangan mana dari mereka berdua yang engkau inginkan.”
Lalu si anak memegang tangan ibunya, sehingga ibunya pergi membawanya.[5] Hadis ini dikeluarkan oleh penyusun kitab Sunan dan Ibnu Abu Syaibah. Dinilai sahih oleh At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Al-Qaththan.
Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa`i, Ibnu Majah, dan Daraquthni meriwayatkan dari hadis ‘Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari dari kakeknya: Bahwa kakeknya masuk Islam sementara istrinya tidak mau masuk Islam. Lalu dia datang membawa anaknya yang masih kecil belum balig. Perawi berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendudukkan si ayah di sini dan si ibu di sini. Kemudian memberikan pilihan kepada si anak dan berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk kepadanya.” Lalu si anak bergerak menuju tempat ayahnya.[6]
وَأَمَّا كَوۡنُهُ يَكۡفُلُهُ مَنۡ كَانَ لَهُ فِي كَفَالَتِهِ مَصۡلَحَةٌ إِذَا لَمۡ يُوجَدۡ، فَلِكَوۡنِهِ مُحۡتَاجًا إِلَى ذٰلِكَ، وَلَمۡ يُوجَدۡ مَنۡ لَهُ فِي ذٰلِكَ حَقٌّ بِنَصِّ الشَّرۡعِ، فَكَانَتِ الۡمَصۡلَحَةُ مُعۡتَبَرَةً فِي مَصۡلَحَةِ بَدَنِهِ كَمَا اعۡتُبِرَتۡ فِي مَالِهِ، وَقَدۡ دَلَّتۡ عَلَى ذٰلِكَ الۡأَدِلَّةُ الۡوَارِدَةُ فِي أَمۡوَالِ الۡيَتَامَى مِنَ الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.
Adapun perihal bahwa yang mengurusnya adalah orang yang bisa memberikan maslahat kepadanya ketika mengurusinya apabila tidak didapati (orang tuanya), maka berdasarkan kebutuhan si anak terhadap hal itu sementara sudah tidak didapati orang yang berhak terhadapnya dalam pengurusan itu berdasarkan nas syariat. Maka, maslahat adalah yang menjadi patokan, dalam maslahat badannya sebagaimana maslahat hartanya. Yang menunjukkan akan hal itu adalah dalil-dalil yang datang tentang harta-harta anak yatim dari Alquran dan Sunah.

[1] HR. Abu Dawud nomor 2276 dan Ahmad 2/182.
[3] Lihat catatan kaki sebelumnya.
[4] HR. Ibnu Majah nomor 2351, At-Tirmidzi nomor 1357, dan Ahmad dalam Musnad 2/246.
[6] HR. Abu Dawud nomor 2244, Ibnu Majah nomor 2352, dan Ahmad dalam Musnad 5/446.