Sang Penulis Wahyu
Nama beliau adalah Zaid bin Tsabit bin Adh-Dhahhak bin Zaid Ludzan bin Amru bin Abdi Auf bin Ghanm bin Malik An-Najjari Al-Anshari. Ibunya adalah An Nawwar bintu Malik bin Muawiyyah. Ada beberapa pendapat yang menyebutkan nama kuniah beliau; Abu Said, Abu Tsabit, Abu Dhahhak, Abu Kharijah, atau Abu Abdirrahman. Beliau termasuk seorang pembesar dari kalangan shahabat, penulis wahyu, gurunya para pembaca Al Qur`an, ahli ilmu waris, sekaligus mufti (ahli fatwa) Madinah.
Beliau menjadi seorang anak yatim yang berumur 11 tahun saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke negeri Madinah. Ayahnya telah meninggal saat perang Bu’ats beberapa tahun sebelum hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dilahirkan pada sekitar tahun 10 sebelum hijrah, kurang lebih 10 tahun lebih muda dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Keluarga beliau termasuk kelompok awal penduduk Madinah yang menerima Islam. Di bawah bimbingan dan pendidikan ibu dan keluarganya, Zaid kecil tumbuh menjadi seorang pemuda yang cerdas dan berwawasan luas. Terbukti ketika berusia 11 tahun, Zaid bin Tsabit dikabarkan telah menghafal 17 surat Al-Qur`an.
Beliau memang seorang anak yang cerdas dan pandai. Saat kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negerinya, keluarganya membawa beliau menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat kecerdasan beliau, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kagum dan menginginkan supaya Zaid membantu beliau untuk menerjemahkan bahasa orang-orang Yahudi (bahasa Ibrani), sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa aman dari kecurangan kaum Yahudi dalam tulisan-tulisan mereka. Maka Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata tentang hal tersebut. Zaid berkata, “Aku pun melakukannya, maka tidak sampai setengah bulan aku telah menguasainya. Aku pun menulis kepada mereka (orang-orang Yahudi) dan bila mereka menulis untuk Rasulullah, akulah yang membacakannya.”
Demikian kecerdasan Zaid kecil yang luar biasa.
Saat terjadi peperangan di awal Islam, Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu belum diperkenankan untuk mengikuti peperangan tersebut disebabkan umur yang masih beliau. Beliau baru diperkenankan turut serta berperang bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan Khandaq. Saat itu beliau bersama para shahabat senior bersama-sama menggali parit Khandaq. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya saat itu, “Amma innahu ni’ma ghulam,” ia adalah sebaik-baik seorang anak.
KEUTAMAAN ZAID BIN TSABIT
Beliau memiliki keutamaan yang sangat banyak. Termasuk penulis wahyu saat-saat diturunkan. Bila wahyu turun, Rasul memanggil Zaid, lalu dibacakan kepadanya dan Zaid disuruh menulis. Zaid menulis ayat-ayat Al Qur’an langsung dari dikte Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara bertahap sesuai urut diturunkannya ayat tersebut. Karena itulah, Zaid bukan saja dikenal sebagai penerjemah dan pencatat wahyu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia juga dikenal di kalangan para shahabat sebagai tempat umat Islam bertanya ihwal Al Qur’an sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda tentangnya yang artinya, “Umatku yang paling menguasai ilmu waris adalah Zaid bin Tsabit.”
Dalam riwayat Imam An-Nasa’i dan Ibnu Majah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar, yang paling kuat kesaksiannya di hadapan Allah adalah Umar, yang paling diakui perasaan malunya adalah Utsman dan yang paling menguasai ilmu waris adalah Zaid bin Tsabit.” Demikianlah keunggulan beliau dalam bidang ini.
Zaid bin Tsabit telah meriwayatkan sembilan puluh dua hadits, yang lima disepakati bersama oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Al-Bukhari juga meriwayatkan empat hadits yang lainnya bersumberkan dari Zaid bin Tsabit, sementara Muslim meriwayatkan satu hadits lainnya yang bersumberkan dari Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit diakui sebagai ulama di Madinah yang keahliannya meliputi bidang fikih, fatwa dan waris. Imam Malik rahimahullah berkata tentangnya, “Dahulu imam manusia di sisi kami (penduduk Madinah) setelah Umar bin Al Khaththab adalah Zaid bin Tsabit, dan Imam manusia setelahnya adalah Ibnu Umar.”
Beliau adalah sumber ilmu yang begitu luas. Tercatat para shahabat yang meriwayatkan dari beliau adalah Abu Hurairah, Abu Said Al Khudri, Ibnu Umar, Anas, Sahl bin Sa’ad, dan lainnya. Adapun dari kalangan tabi’in adalah Said bin Musayyib, Kharijah, Sulaiman, Qasim bin Muhammad, Sulaiman bin Yassar dan lainnya.
PUJIAN PARA SHAHABAT
Pujian para shahabat kepada beliau sangatlah banyak. Marilah kita melihat pujian-pujian tersebut. Di antara pujian tersebut adalah pujian Abu Bakar As Shidiq, manusia terbaik setelah para Rasul. Beliau mengatakan kepada Zaid, “Anda adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukanmu.”
Senada dengan Abu Bakar, Umar pun berkata tentangnya, “Hai manusia, siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit.”
Demikianlah, keduanya mengakui keilmuan Zaid dalam hal Al Qur’an dan ilmu lainnya. Oleh sebab itulah, saat terjadi pertempuran Yamamah dan banyak para penghafal Al Qur’an yang gugur, keduanya meminta Zaid untuk mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf. Keduanya juga memercayakan dan mewakilkan beliau dalam masalah kebendaharaan negara.
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu juga menjadikan beliau sebagai pengganti roda pemerintahan ketika beliau menunaikan haji.
Diriwayatkan dari Abu Salamah, bahwa Ibnu Abbas menghampiri Zaid bin Tsabit dengan kendaraannya, kemudian memboncengkannya. Zaid berkata, “Paculah wahai putra paman Rasulullah!” Ibnu Abbas pun berkata, “Tidak, seperti inilah yang dilakukan kepada para ulama dan pembesar kita.”
Beliau juga berkata, “Para hafizh dari kalangan shahabat menganggap bahwa Zaid bin Tsabit termasuk seorang yang kokoh keilmuannya.”
WAFAT
Zaid bin Tsabit meninggal tahun 15 Hijriah[1]. Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Abu Hurairah berkata, “Telah wafat orang terbaik dari umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.” Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya. Amin. [Hammam]
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 35 volume 3 1435 H / 2014 M rubrik Figur.
[1] Ralat: Terdapat kekeliruan penulisan angka tahun pada wafatnya Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai tahun beliau meninggal. Di dalam kitab Usdul Ghabah karya Ibnul Atsir rahimahullah, disebutkan bahwa para ulama mengatakan beliau meninggal pada tahun 45 H, 42 H, 43 H, 51 H, 52 H, atau 55 H. Allahu a’lam. (Majalah Tashfiyah edisi 36 volume 03 1435 H / 2014 M rubrik Tegur Sapa Sobat Tashfiyah