Cari Blog Ini

Ummu Hani’ bintu Abi Thalib

Bukti Penghargaan Islam kepada Wanita


Seorang wanita yang penyayang kepada putra-putranya dan sangat mengerti hak suami atasnya… Inilah dia, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saudari kandung Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyalahu ‘anhu, Ja’far, ‘Uqail, dan Thalib: Ummu Hani’ Fakhitah –atau Hindun- bintu Abi Thalib bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim al-Qurasyiyyah al-Hasyimiyyah radhiyallahu ‘anha.

Sungguh wanita Islam di masa ini tidak memerlukan tokoh-tokoh wanita modern di bidang politik, ekonomi, aktivis-aktivis emansipasi, apalagi bintang-bintang selebritas, figur-figur “teladan” wanita Indonesia, di luar pendahulu mereka yang saleh, untuk mengambil ibrah. Mereka juga tidak memerlukan ideologi dan idealisme di luar Islam untuk mendapatkan keadilan. Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha adalah salah satu dari banyak cermin dari kalangan wanita sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi bukti pemuliaan Islam terhadap wanita. Berikut kisahnya.

Ibunda Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, Fathimah bintu Asad bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf, adalah sepupu ayahnya. Ummu Hani’, shahabiyah yang mulia ini, tumbuh besar bersama saudara-saudaranya dan sekaligus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di kediaman Abu Thalib.

Pada masa jahiliah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminangnya. Namun, Abu Thalib terlanjur menjanjikan Ummu Hani’ untuk Hubairah bin Abi Wahb bin ‘Amr al-Makhzumi. Ia pun melahirkan beberapa putra dari Hubairah: ‘Amr atau ‘Amrah yang meninggal ketika kecil, Hani’, Jad’ah, yang menjadi gubernur Khurasan pada masa kekhalifahan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu; Ja’far, Thalib, ‘Uqail, dan Jumanah.

Tali Rahim yang Terjaga


Ummu Hani’ sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum berislam, ia melindungi beliau dari gangguan musyrikin dan membantu dakwah beliau sebagaimana ayahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun senantiasa menjaga silaturahmi dengannya dan menjenguknya.

Di antara kunjungan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pada peristiwa Isra’ Mi’raj. Beliau singgah di kediaman Ummu Hani’ sepulang dari perjalanan dakwah ke Tha’if yang menyisakan kegundahan dan kesedihan di hati beliau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, di dalam Syarh al-‘Aqidah as-Safariniyyah, ketika menjelaskan dari mana peristiwa besar ini bermula, beliau katakan bahwa pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di tempat Ummu Hani’. Kemudian, datang seseorang yang membangunkan beliau, lalu berangkatlah beliau ke Masjidil Haram. Di sana beliau berbaring di sisi al-Hijr. Dari sanalah beliau dimi’rajkan ke atas langit. Pada masa keislamannya, Ummu Hani’ menceritakan peristiwa ini dan mengatakan bahwa ia berusaha mencegah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kejadian Isra’ Mi’raj kepada Quraisy. Ia khawatir akan pendustaan mereka. Namun, beliau tetap menyampaikannya sehingga menjadi jelaslah siapa yang ingkar dan siapa yang beriman.

Merengkuh Cahaya Iman


Allah subhanahu wa ta’ala memerdekakan beratus ribu hamba-Nya dari perbudakan kekufuran dan kesyirikan dalam peristiwa Fathu Makkah. Mereka ini disebut ath-Thulaqa’, dan Ummu Hani’termasuk dari mereka. Hubairah, suaminya, meninggalkannya, melarikan diri ke Najran. Ia lebih memilih kekufuran, dan mati di atasnya. Bahkan, ia membela diri, menutupi kepengecutannya, dengan bait-bait syair yang terekam di dalam sejarah. Dengan keislamannya, terpisahlah Ummu Hani’ dengan sendirinya dari suaminya.

Di dalam keislamannya, Ummu Hani’ meriwayatkan cukup banyak hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang beberapa di antaranya terdapat dalam ash-Shahihain. Yang terkenal adalah riwayat beliau ketika terjadi Penaklukan Makkah. Sebab, riwayat ini adalah satu-satunya dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha. Di antara jalan periwayatan itu adalah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah,

حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ بۡنُ أَبِي أُوَيۡسٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكُ بۡنُ أَنَسٍ، عَنۡ أَبِي النَّضۡرِ مَوۡلَى عُمَرَ بۡنِ عُبَيۡدِ اللهِ، أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوۡلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنۡتِ أَبِي طَالِبٍ أَخۡبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنۡتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ: ذَهَبۡتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ عَامَ الۡفَتۡحِ، فَوَجَدۡتُهُ يَغۡتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابۡنَتُهُ تَسۡتُرُهُ. قَالَتۡ: فَسَلَّمۡتُ عَلَيۡهِ، فَقَالَ: مَنۡ هَٰذِهِ؟ فَقُلۡتُ: أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنۡتُ أَبِي طَالِبٍ. فَقَالَ: مَرۡحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ. فَلَمَّا فَرَغَ مِنۡ غُسۡلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلۡتَحِفًا فِي ثَوۡبٍ وَاحِدٍ، فَلَمَّا انۡصَرَفَ، قُلۡتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، زَعَمَ ابۡنُ أُمِّي أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا قَدۡ أَجَرۡتُهُ فُلَانَ ابۡنَ هُبَيۡرَةَ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: قَدۡ أَجَرۡنَا مَنۡ أَجَرۡتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ. قَالَتۡ أُمُّ هَانِئٍ: وَذَاكَ ضُحًى.

Isma’il bin Abu Uwais telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Malik bin Anas telah menceritakan kepadaku, dari Abu an-Nadhar, bekas budak ‘Umar bin ‘Ubaidullah, bahwa Abu Murrah, bekas budak Ummu Hani’ bintu Abi Thalib, mengabarkan kepadanya bahwa ia mendengar Ummu Hani’ bintu Abi Thalib berkata, “Aku pergi menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Penaklukan Makkah. Aku dapati beliau tengah mandi, sementara Fathimah, putri beliau, menutupi beliau dengan tabir.”

Ummu Hani’ bintu Abi Thalib berkata, “Aku lantas memberi salam kepada beliau, lalu beliau bertanya, ‘Siapakah ini?’”

Aku menjawab, “Ummu Hani’ bintu Abi Thalib.”

Beliau bersabda, “Selamat datang, wahai Ummu Hani’.”

Setelah selesai mandi, beliau mengerjakan shalat delapan rakaat dengan berselimutkan selembar pakaian. Setelah beliau selesai shalat, aku berkata, “Wahai Rasulullah, anak ibuku (‘Ali) mengatakan bahwa dia akan membunuh orang yang kulindungi, Fulan bin Hubairah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kami melindungi orang yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani’.” Ummu Hani’ berkata, “Saat itu adalah waktu dhuha.”

Lihatlah, wahai para pejuang emansipasi wanita. Islam meberikan hak politik yang besar kepada wanita. Wanita, sebagaimana pria, diperkenankan mengajukan permohonan semacam hak imunitas atau suaka bagi seseorang. Hak ini, baik pada masa lampau maupun pada masa kini, adalah keistimewaan yang sangat besar, karena dengannya seseorang terlindungi dari proses hukum yang seharusnya dijatuhkan terhadapnya.

Ternyata, permohonan Ummu Hani’ tersebut dikabulkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah, selama tidak ada dalil yang membedakan hukum antara laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki hukum yang sama di dalam Islam.

Adapun apabila ada nash yang datang membedakan keduanya, barulah diterapkan perbedaan hukum atas keduanya, seperti dalam masalah warisan, kewajiban pemberian nafkah, shalat jamaah, dan jihad. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwasanya tidaklah sama antara lelaki dan perempuan. Ada ketidaksamaan dalam hal fisik dan psikis, yang berpengaruh pada kemampuan, tabiat, dan perilaku keduanya. Syariat menempatkan keduanya dalam posisi yang paling tepat dan sempurna. Selama tidak ada dalil yang membedakan, keduanya mendapatkan hukum yang sama. Keduanya adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala, yang sama-sama berhak mendapatkan pahala dan penghargaan disebabkan amalan saleh mereka. Peristiwa yang melibatkan Ummu Hani’ ini menjadi salah satu tera yang menunjukkannya.

Dari hadits yang sama, kita juga mempelajari bahwa apabila kita sedang di kamar mandi dan ada yang mengucapkan salam, kita dapat menjawabnya dengan ucapan marhaban (selamat datang) dan tidak menjawab salam tersebut. Di dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, dalam penjelasan hadits yang semakna dengan hadits di atas, disebutkan bahwa ucapan marhaban adalah kalimat pemuliaan, dan mengucapkannya termasuk sunnah.

Di dalam lafadz yang lain dari hadits yang sama, kita juga dapat mengetahui shalat Dhuha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Bukhari rahimahullah, di dalam Shahih beliau, mengatakan,

حَدَّثَنَا آدَمُ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ: حَدَّثَنَا عَمۡرُو بۡنُ مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعۡتُ عَبۡدَ الرَّحۡمٰنِ بۡنَ أَبِي لَيۡلَى يَقُولُ: مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ ﷺ يُصَلِّي الضُّحَى غَيۡرُ أُمِّ هَانِئٍ، فَإِنَّهَا قَالَتۡ: إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ دَخَلَ بَيۡتَهَا يَوۡمَ فَتۡحِ مَكَّةَ، فَاغۡتَسَلَ، وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمۡ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنۡهَا غَيۡرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ

Adam telah menceritakan kepada kami: Syu’bah telah menceritakan kepada kami: ‘Amr bin Murrah telah menceritakan kepada kami: Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Abi Laila berkata, “Tidak ada seorang pun yang pernah menceritakan kepada kami bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha, selain Ummu Hani’. Ia mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya pada saat Penaklukan Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi lalu melakukan shalat delapan rakat. Ummu Hani’ berkata, ‘Belum pernah sekali pun aku melihat beliau melaksanakan shalat yang lebih ringan daripada (shalat beliau) saat itu. Namun, beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujud’.”

Khitbah yang Memuliakannya


Setelah Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha memeluk Islam, sekali lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan, di dalam Shahih beliau,

حَدَّثَنِي حَرۡمَلَةُ بۡنُ يَحۡيَى: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي يُونُسُ عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ: حَدَّثَنِي سَعِيدُ بۡنُ الۡمُسَيِّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيۡرَةَ قَالَ: سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: نِسَاءُ قُرَيۡشٍ خَيۡرُ نِسَاءٍ رَكِبۡنَ الۡإِبِلَ، أَحۡنَاهُ عَلَى طِفۡلٍ، وَأَرۡعَاهُ عَلَى زَوۡجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ. قَالَ: يَقُولُ أَبُو هُرَيۡرَةَ عَلَى إِثۡرِ ذٰلِكَ: وَلَمۡ تَرۡكَبۡ مَرۡيَمُ بِنۡتُ عِمۡرَانَ بَعِيرًا قَطُّ. حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ وَعَبۡدُ بۡنُ حُمَيۡدٍ –قَالَ عَبۡدٌ: أَخۡبَرَنَا، وَقَالَ ابۡنُ رَافِعٍ: حَدَّثَنَا- عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ عَنِ الزُّهۡرِيِّ عَنِ ابۡنِ الۡمُسَيِّبِ عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَطَبَ أُمَّ هَانِئٍ بِنۡتَ أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَتۡ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي قَدۡ كَبِرۡتُ وَلِي عِيَالٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: خَيۡرُ نِسَاءٍ رَكِبۡنَ. ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثۡلِ حَدِيثِ يُونُسَ غَيۡرَ أَنَّهُ قَالَ: أَحۡنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ

Harmalah bin Yahya telah menceritakan kepadaku: Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami: Yunus telah mengabarkan kepadaku, dari Ibnu Syihab: Sa’id bin al-Musayyib telah menceritakan kepadaku bahwa Abu Hurairah berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Para wanita Quraisy adalah wanita terbaik yang mengendarai unta, yang paling sayang kepada anak, dan paling menjaga harta suaminya’.”

Setelah itu, Abu Hurairah berkomentar, “Maryam bintu ‘Imran tidak pernah mengendarai unta.”

Muhammad bin Rafi’ dan ‘Abd bin Humaid telah menceritakan kepadaku –‘Abd berkata, “Telah mengabarkan kepada kami”, sedangkan Ibnu Rafi’ berkata, “Telah menceritakan kepada kami”- ‘Abdurrazaq: Ma’mar telah mengabarkan kepada kami, dari az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Ummu Hani’ bintu Abi Thalib. Ummu Hani’ berkata, “Wahai Utusan Allah, sesungguhnya saya ini sudah tua dan punya banyak anak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Wanita terbaik yang mengendarai….” Perawi menyebutkan hadits yang serupa dengan hadits Yunus, hanya di dalam lafadznya, beliau berkata, “… yang paling sayang kepada anaknya ketika anaknya masih kecil.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memahami sikap Ummu Hani’. Dalam riwayat lain disebutkan ucapan Ummu Hani’ bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintainya daripada pendengaran dan penglihatannya sendiri. Akan tetapi, hak suami sangatlah besar. Ia khawatir, ketika ia tunaikan hak suaminya, ia akan menyia-nyiakan anak-anaknya, dan ketika ia tunaikan hak anak-anaknya, ia akan menyia-nyiakan suaminya.

Demikianlah. Ummu Hani’ menolak bukan karena ia membenci beliau. Sebaliknya, ia sangat mencintai beliau. Keadaannya tidak lagi muda. Di sisi lain, tanggung jawab dan kewajibannya di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala ketika itu adalah membesarkan anaknya yang banyak dan masih kecil-kecil. Sementara itu, ia sangat mengerti besarnya hak suami atas istrinya. Ummu Hani’ khawatir, apabila ia menerima pinangan beliau, ia tidak akan sanggup menunaikan amanat dengan baik sebagai istri, dan sekaligus sebagai ibu bagi putra-putranya yang masih belia.

Ini dilema yang dirasanya sangat besar. Mungkin saja wanita lain yang menempati posisinya tidak akan memutuskan langkah yang sama dengannya. Oleh karena itu, Ummu Hani’, dengan sifat penyayangnya, mendapatkan pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wanita penunggang unta yang terbaik. Beliau pun memahami dan menerima penolakan tersebut dengan baik.

Akhir Hayat Wanita yang Mulia


Ummu Hani’ terus menyampaikan ilmu kepada generasi Islam setelahnya. Ia meriwayatkan beberapa puluh hadits yang didokumentasikan dalam ash-Shahihain dan kitab-kitab hadits al-Kutubus Sittah yang lain. Ia melewati masa kekhalifahan saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dan meninggal pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai dan merahmati Ummu Hani’ bintu Abi Thalib.

Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

Referensi:
  • al-Isti’ab
  • Siyar A’lamin Nubala’
  • al-Ishabah
  • Shahih al-Bukhari
  • Shahih Muslim
  • dll.

Sumber: Majalah Qonitah edisi 21/ vol 02/ 1436H – 2015M, rubrik Figur Mulia. Pemateri: Al-Ustadzah Ummu Maryam Lathifah.