Cari Blog Ini

TEGAR DI ATAS UJIAN

Hampir tidak ada yang asing dengan dua putra Ali bin Abi Thalib, Al Hasan dan Al Husain radhiyallahu ‘anhuma. Sebab keduanya adalah cucu dan kesayangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak memiliki keutamaan. Namun, bisa jadi ada yang belum tahu, bahwa Al Hasan dan Al Husain masih memiliki saudara lelaki. Saudara mereka itu bernama Muhammad. Beliau juga putra Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan ibadahnya, zuhud, keberanian, dan kekuatan, serta kefasihan berbahasa.

Memang Muhammad bukan saudara kandung Al Hasan dan Al Husain. Fathimah bintu Rasulullah, ibu kandung kedua penghulu para pemuda ahlul jannah itu telah wafat enam bulan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepeninggal Fathimah, Ali menikah dengan Khaulah bintu Ja’far Al Hanafiyah. Dahulu, ia adalah salah satu dari sekian tawanan pasukan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu paska penyerbuan terhadap Bani Hanifah, penduduk Yamamah yang murtad dari Islam gara-gara memercayai kenabian Musailamah.

Dikisahkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu membebaskan Khaulah dari Dzil Majaz, sebuah pasar kuno yang terletak di balik bukit ‘Arafah sekembalinya dari Yaman. Sementara riwayat lain mengisahkan bahwa Khaulah merupakan hadiah dari Khalifah Abu Bakar untuk Ali. Tercatat pula riwayat dari Asma bintu Abu Bakar, bahwa Khaulah adalah seorang wanita berkulit hitam yang berasal dari Negeri Sind. Negeri yang menurut sejarah, berbatasan dengan India, Sijistan, dan Karman. Jadi, Khaulah sebenarnya bukan asli dari Bani Hanifah. Namun ia dahulu merupakan hamba sahaya penduduk Yamamah itu.

Muhammad bin Ali bin Abi Thalib rahimahullah lebih dikenal dengan nisbat kepada sang ibu, Muhammad bin Al Hanafiyah. Terlepas dari nasab ibundanya, tentulah Muhammad termasuk ahlu bait, bahkan termasuk imam terkemuka dari kalangan ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bukan tergolong sahabat rasul. Beliau baru terlahir pada tahun ketiga dari masa khilafah Abu Bakar. Di tahun inilah Abu Bakar wafat lalu digantikan Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.

Kunyah beliau Abu Abdillah, namun lebih tersohor dengan kunyah Abul Qasim. Lihatlah, terkumpul pada diri beliau nama sekaligus kunyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Muhammad Abul Qasim. Apa boleh yang seperti ini? Bukankah Rasul pernah melarang untuk seorang mengumpulkan nama dan kunyahnya sekaligus?

Ya, memang pada asalnya ini adalah salah satu kekhususan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ayah Muhammad, pernah menyampaikan rencana dan permintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila ia punya anak nanti setelah Al Hasan dan Al Husain akan diberi nama Muhammad dan kunyah Abul Qasim. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan izin kepadanya.

Pembaca, Muhammad Al Hanafiyah dikenal sebagai tokoh tabi’in yang kaya ilmu. Mayoritas dari hadis yang beliau riwayatkan adalah dari ayahandanya. Tentu beliau juga mengambil dari sahabat Nabi yang lain seperti Umar bin Al Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ammar bin Yasir, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum dan selain mereka. Adapun hadis beliau yang sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila melalui jalan ayahnya, maka termasuk hadis yang sangat kuat derajat keshahihannya. Di antara hadis yang beliau riwayatkan dari ayahandanya adalah tentang keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar. Suatu hari Muhammad rahimahullah bertanya kepada ayahnya, “Siapakah manusia terbaik setelah Rasulullah?”

“Abu Bakar”, jawab Ali.

“Siapa lagi setelahnya?”

“Umar”

(Sampai di sini aku khawatir jikalau ayahku menyebutkan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu setelahnya) “Kemudian engkau?”

“Aku hanyalah seorang manusia biasa dari kalangan umat muslim.”[1]

Beliau juga dikenal sebagai tokoh tabi’in yang sangat wara dan zuhud. Beliau pernah berkata, “Barang siapa yang merasa jiwanya mulia, maka baginya dunia itu tak bernilai sedikitpun. Benar! Andai saja dunia seisinya dari awal hingga saat kehancurannya kelak lebih berharga dari sehelai sayap nyamuk, niscaya orang kafir tidak akan berhak menikmati seteguk air.

Tentang sikap dia dalam masa fitnah, Ibnu Sa’ad mengisahkan bahwa ketika Abdullah bin Az-Zubair dibaiat oleh penduduk Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Irak, tak lama berselang Al Husain bin Ali terbunuh, Ibnuz Zubair menuliskan pesan kepada Muhammad bin Al Hanafiyah agar ikut berbaiat dan mengakui kekuasaannya.

Sementara dari Syam, Abdul Malik bin Marwan juga mengirimkan pesan agar membaiatnya. Namun kedua pesan ini tidak beliau indahkan. Tidak kepada Ibnuz Zubair beliau berbaiat, tidak pula kepada Abdul Malik. Ini beliau lakukan dalam rangka menghindar dari fitnah. “Aku hanya manusia biasa sebagaimana kaum muslimin yang lain. Aku akan berbaiat jika kaum muslimin sepakat untuk membaiat satu orang amir,” begitu tegas beliau.

Beliau telah mengalami sejarah kelam saat terjadi fitnah pasukan ayahnya bertempur melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu dalam perang Shiffin. Saat itu Muhammad lah yang membawa bendera pasukan Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia menyaksikan pedang-pedang dihunuskan bahkan menebas leher-leher muslimin, menumpahkan darah-darah mereka. Peristiwa yang bagi orang berakal tak bakal dilupakan, cukup untuk melahirkan sikap berhati-hati dan lebih baik menyingkir dari fitnah-fitnah yang bisa menjerumuskan pertumpahan darah sesama muslimin di kemudian hari.

Sejak itulah, Muhammad rahimahullah meneguhkan pendirian. Ia tidak ingin terseret untuk kedua kalinya dalam hempasan badai fitnah. Oleh sebab itu ketika Mu’awiyah menggantikan posisi saudaranya Al Hasan, ia berbaiat dengan setulus hati. Namun sepeninggal Muawiyah dan disusul oleh Yazid, kemudian terjadi perpecahan di antara muslimin di mana sebagian membaiat Abdullah bin Zubair, sebagian lagi membaiat Abdul Malik, maka ia memilih untuk abstain, tidak membaiat salah satu dari mereka.

Muhammad bin Al Hanafiyah benar-benar berada di lubuk hati kaum muslimin. Mereka melihat ketekunan yang luar biasa pada diri Muhammad. Begitupun sifat zuhud, wara’, keberanian, gigihnya dalam amar ma’ruf nahi mungkar, serta menyebarkan ilmu. Andai saja beliau berbaiat kepada salah satu dari keduanya, banyak kaum muslimin yang akan ikut pilihannya. Dan konsekuensi dari baiat adalah membela yang dibaiat dan memusuhi penentangnya. Sungguh kemestian yang dia telah berusaha lari darinya.

Kian hari fitnah semakin bergejolak. Ketegangan antara Abdul Malik dan Ibnuz Zubair semakin memanas dan memuncak. Keadaan semakin runyam lagi bagi Muhammad bin Al Hanafiyah ketika banyak orang yang mengikuti jalannya. Tercatat angka 7000 orang yang tidak ikut berbaiat baik kepada Abdul Malik maupun kepada Abdullah bin Zubair.

Bahkan tersebar isu dusta bahwa Muhammad menyatakan siap dibaiat. Dan bahwa sebenarnya yang pantas untuk menjadi amir adalah dirinya. Penyebar isu tersebut adalah Al Mukhtar bin Abi ‘Ubaid Ats Tsaqafi, orang yang cukup berbahaya menurut Ibnuz Zubair.

Dengan retorika memikat, dibumbui dengan sanjungan, pujian, dan penghormatan yang berlebihan terhadap Muhammad, Al Mukhtar berhasil mengambil hati manusia. Banyak yang terhasut bahkan secara sembunyi menyatakan berbaiat kepada Muhammad. Alasannya, percaya bahwa Al Mukhtar adalah penyambung lidah dari Muhammad Ibnul Hanafiyah.

Tak ayal, penolakan baiat dari Muhammad, ditambah lagi isu yang dihembuskan tentang beliau membuat keretakan hubungan dengan Abdullah bin Zubair semakin bertambah runyam. Muhammad beserta 20 pemuka keluarganya dan beberapa jiwa dari Bani Hasyim, termasuk di dalamnya Ibnu Abbas yang belum bersedia berbaiat kepada Ibnuz Zubair pun akhirnya dikurung di kubah Zam-zam dan diancam dengan dibakar hidup-hidup bila pada hari yang telah ditentukan tetap tidak berbaiat.

Pembaca, sedemikian dahsyatnya fitnah yang terjadi waktu itu. Banyak pihak yang terlibat, yaitu orang-orang khawarij, yaitu kaum pemberontak yang selalu memperkeruh suasana. Mereka selalu meniupkan api perselisihan dan pemberontakan demi ambisi mereka. Adapun para sahabat, dalam hal ini Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, mereka berijtihad dalam situasi yang sangat genting. Dan mereka adalah orang-orang yang pantas dan memang ahlinya. Mereka mendapat dua pahala apabila benar dan satu pahala apabila salah. Termasuk dalam peristiwa ini.

Sikap seorang ahlus sunnah dalam menanggapi kasus seperti ini adalah berprasangka baik kepada para sahabat. Tidak mengungkit-ungkit berbagai perselisihan yang terjadi di antara mereka. Namun selalu menjaga lisan, tidak membicarakan mereka kecuali dengan kebaikan.

Pembaca, kembali kepada kisah, lambat laun, sebagian dari muslimin yang telah berbaiat kepada Ibnu Hanafiyah seperti tersadar dari pengaruh hipnotis. Mereka berinisiatif untuk langsung menemui Ibnul Hanafiyah menanyakan hal ihwal kebenaran berita Al Mukhtar.

“Kenapa kita serahkan janji setia kita kepadanya, hanya karena percaya bahwa dia adalah utusan Muhammad bin Al Hanafiyah. Bukankah Muhammad berada di Makkah, tidak jauh dari kita?”

Muhammad berkata ketika datang utusan kepadanya, “Wahai kaum, bukankah kalian melihat dengan mata kalian bahwa kita hanyalah sekelompok manusia yang terkurung. Dari mana kekuasaan itu akan kami dapat? Aku tidak suka diberi kekuasaan dunia jika harus membunuh jiwa muslim. Sungguh aku hanya berharap Allah subhanahu wa ta’ala akan membebaskan kami melalui siapapun yang Dia kehendaki. Dan waspadalah kalian dari para pembual dan pembohong.”

Tentang Al Mukhtar si pembual ini, sebenarnya telah diberitakan jauh-jauh hari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Asma bintu Abu Bakar, ibunda dari Abdullah ibnu Zubair, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya di Tsaqif terdapat seorang pendusta dan seorang pembantai manusia.”[2] Si pendusta itu adalah Al Mukhtar dan si pembantai manusia adalah Al Hajjaj bin Yusuf.

Melalui tangan siapakah Muhammad bin Al Hanafiyah beserta tokoh-tokoh dari keluarganya serta beberapa jiwa dari Bani Hasyim akhirnya selamat dari hukuman?

Alkisah, ada sepucuk surat rahasia yang dikirimkan oleh sebagian yang terkurung bersama Muhammad di kubah Zam-zam itu disampaikan kepada Al Mukhtar. Isinya, “Wahai penduduk Kufah, jangan kalian biarkan kami mati tersiksa sebagaimana telah dialami oleh Al Husain.”

Setelah dibaca oleh Al Mukhtar di hadapan pembesar-pembesar Kufah, dia mengatakan, “Itulah surat dari Al Mahdi kalian, Sayyid dari ahli bait Nabi kalian. Sungguh mereka saat ini tinggal menunggu ajal saja untuk segera hangus terbakar.”

Kemudian diutuslah sejumlah 4000 pasukan dengan pimpinan Abu Abdillah Al Jadali. Mereka bergerak menuju Hijaz. Saat mendekati gerbang Makkah, pasukan dihadang oleh seorang yang berteriak histeris, “Cepatlah kalian bergerak! Aku tidak yakin kalian masih punya kesempatan untuk menyelamatkan mereka.”

Dengan langkah cepat, 800 orang dari pasukan itu lebih dahulu maju. Mereka masuk Makkah dengan teriakan takbir yang menggema. Membuat penduduk Makkah gentar bahkan Abdullah bin Zubair sendiri menyingkir dan menyelamatkan diri di Darun Nadwah.

‘Athiyyah Al ‘Aufi yang memimpin 800 personil itu langsung melambung ke posisi Muhammad ibnul Hanafiyah dan Ibnu ‘Abbas. Kayu-kayu kering yang menggunung telah mengepung mereka. Andai saja ada percik api menjilat sebatang saja dari tumpukan kayu itu, pasti akan melalapnya habis, dan orang-orang yang terkepung di dalamnya tak akan bisa dilihat lagi. Namun Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki mereka selamat. Dua hari sebelum rencana eksekusi itu dilangsungkan, mereka telah keluar dari kurungan dengan seizin Allah.

Dalam peristiwa pembebasan itu tidaklah terjadi pertumpahan darah. Muhammad Al Hanafiyah mencegah pasukan Abu Abdillah Al Jadali untuk membuat perhitungan dengan para pembela Ibnuz Zubair.

“Ingatlah, tanah ini adalah Tanah Haram. Tidak dihalalkan kecuali untuk Nabi kita ini, itupun hanya sesaat. Maka lindungi kami. Selamatkan kami. Itu saja!”

Akhirnya mereka berhasil diselamatkan. Lalu singgah beberapa waktu di Mina lalu tinggallah mereka di Thaif. Di kota inilah Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu wafat dan disalati oleh Muhammad bin Al Hanafiyah.

Sepeninggal Ibnu Abbas, Muhammad tetap tidak membaiat Abdullah bin Az Zubair dan juga Abdul Malik. Di masa-masa itulah beliau dan pengikutnya merasakan penderitaan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Bukan karena membangkang namun justru ingin menjauh dari fitnah. Di Makkah diusir oleh pengikut Abdullah, di Syam pun juga demikian halnya, diusir oleh Abdul Malik.

Bahkan ada ujian yang jauh lebih berat dihadapi beliau justru dari pengikut-pengikutnya. Entah syaitan mana yang membisiki, tiba tiba saja tersebar dari mulut-mulut sebuah ucapan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, prinsip-prinsip agama, dan khazanah syariat yang sengaja dikhususkan untuk Ahlul Bait, dan tidak diketahui oleh selain mereka.”

Muhammad rahimahullah sangat memahami apa yang diinginkan dari ucapan ini. Tidak lain adalah penyimpangan yang sangat membahayakan Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan berdiri berceramah di hadapan mereka, ia memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjungnya, bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata,

“Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait memiliki ilmu yang Rasulullah khususkan kami atas ilmu itu serta tidak diberitahukan kepada siapapun selain kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”

Sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”

Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada kebaikan. Kalian pun adalah para mahdi (yang terbimbing dan mendapat hidayah) kepada kebaikan Insya Allah. Jika salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”

Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki penderitaan Muhammad segera berakhir. Ibnuz Zubair terbunuh di tangan Al Hajjaj bin Yusuf, dan umat Islam bersepakat dengan keamiran Abdul Malik, maka tidak lama berselang Muhammad pun menyerahkan baiatnya kepada Abdul Malik bin Marwan.

Berkata Adz Dzahabi, “Ketika manusia sepakat dengan kekuasaan Abdul Malik, bahkan Abdullah bin Umar juga membaiatnya, maka Ibnu Umar berkata kepada Muhammad, “Tunggu apa lagi, segeralah berbaiat!”

Ditulislah sepucuk surat pernyataan baiat kepada Abdul Malik, “Sesungguhnya aku ketika menyaksikan manusia berselisih (dalam penentuan penguasa), aku tinggalkan mereka. Maka setelah perkara ini ada di tanganmu, dan umat telah membaiatmu, maka aku adalah bagian dari mereka. Aku telah membaiatmu. Akupun telah membaiat Hajjaj sebagai wakilmu. Maka aku harap engkau menjamin keamanan kepada kami, dengan sebuah perjanjian yang tidak dilanggar. Sungguh pengkhianatan itu tidak ada kebaikannya sedikitpun.”

Abdul Malik membalas surat tersebut, “Engkau lebih aku cintai dan lebih dekat pertalian darahnya daripada Ibnuz Zubair. Jaminan keamanan dari Allah dan Rasul-Nya untukmu. Engkau tidak akan diserang. Tidak pula seorang pun dari pengikutmu.”

Muhammad bin Al Hanafiyah wafat di akhir tahun 80 hijriah. Umur beliau saat itu 65 tahun. Di hari kematiannya, datanglah Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan untuk menyalatinya. Setelah itu beliau dimakamkan di pekuburan Baqi’.

Telah meninggal salah seorang imam ahlussunnah, seorang dari kibar tabi’in, serta imam ahlul bait. Semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya dalam firdaus yang tertinggi. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 31 vol.03 1436 H/ 2015 M, rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Humaid Fauzi bin Isnaini.

[1] Hadits Shahih riwayat Al Bukhari no. 3395 
[2] Hadits riwayat Muslim dari Asma bintu Abi Bakar no. 4617.