Cari Blog Ini

“CAHAYA KEDUA” Utsman bin Affan

Pagi itu matahari masih terbit bersinar dari tempat biasanya. Begitu pula keadaan bumi sekitar mungkin tidak banyak yang berubah. Akan tetapi lain halnya dengan suasana hati kaum musyrikin Quraisy. Gelisah, gundah tak menentu semenjak tersebarnya sebuah agama baru yang dibawa seorang yang mereka percaya dan terkenal tak pernah berdusta. Ya… agama Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang terkenal berakhlak mulia dari Bani Hasyim. Berbagai upaya mereka lakukan agar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan kegiatan menyebarkan keyakinannya. Dari mulai mengiming-iminginya dengan berbagai kenikmatan dunia seperti harta, tahta, dan wanita, hingga beberapa kali mereka mencoba membunuhnya.

Akan tetapi dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin bertambah besar dan meningkat pengikutnya. Berharap apa yang mereka lakukan akan membuahkan hasil, setidaknya ada teguran keras dari Bani Hasyim kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata mereka salah duga. Semangat kesukuan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib lebih besar dari yang mereka bayangkan. Ketika Abu Thalib meminta mereka untuk memberikan perlindungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai salah satu kerabat mereka, maka Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, serta Bani Abdul Manaf menyanggupinya. Tidak hanya dari kalangan yang berislam saja yang menyatakan akan membela dan melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan dari kalangan yang masih musyrik sekalipun ikut menyatakan hal yang sama, kecuali paman beliau Abu Lahab-, dia memisahkan diri dari Bani-nya dan menggabungkan dirinya dengan orang-orang Quraisy yang lain.

Akhirnya kafir Quraisy berkumpul di perkampungan Bani Kinanah. Mereka membuat kesepakatan bersama untuk menghadapi Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, yang isinya membuat kerugian bagi Bani Hasyim dan Abdul Muthallib. Mereka sepakat untuk melarang mengadakan pernikahan, jual beli, berteman, berkumpul, memasuki rumah, dan berbicara dengan kedua suku tersebut. Tujuan mereka satu, ingin agar Bani Hasyim serta Bani Abdul Muthalib melepaskan perlindungannya kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menyerahkan beliau kepada mereka untuk dibunuh. Mereka menuliskan isi perjanjian tersebut di atas selembar papan yang digantungkan di dinding bagian dalam Ka’bah. Sejak itu, Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib diisolir. Kejadian itu terjadi sekitar awal bulan Muharram tahun ke tujuh nubuwwah.

Pemboikotan yang dilakukan oleh kafir Quraisy benar-benar ketat. Mereka tidak membiarkan ada bahan makanan yang masuk ke Mekah kecuali mereka beli semua. Mereka tidak membiarkan Bani Hasyim mendapatkannya dengan mudah. Kalaupun mereka berkehendak menjualnya maka mereka akan menjual dengan harga yang sangat tinggi hingga Bani Hasyim tidak mampu membelinya. Akhirnya Bani hasyim dan Bani Abdul Muthalib kelaparan. Cadangan makanan mereka habis tanpa mampu mendapatkan apapun. Kalaupun ada yang berhasil mendapatkannya, jumlahnya sangat tidak mencukupi kebutuhan. Akhirnya mereka hanya bisa makan dedaunan dan kulit binatang. Sering kali terdengar rintihan kelaparan dari perkampungan Abu Thalib. Keadaan itu berlangsung kurang lebih 3 tahun lamanya.

Akan tetapi Allah memberikan kekuatan kepada Bani Hasyim dan Abdul Muthalib. Mereka tetap bertahan sekalipun keadaan mereka cukup mengenaskan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang muslim pun tetap keluar pada musim haji untuk menemui orang-orang dan menyebarkan Islam.

Sementara itu, keluarga Nabi pun tidak jauh berbeda. Mereka merasakan penderitaan sebagaimana yang dirasakan oleh Bani Hasyim keumumannya. Ketika itu Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha masih hidup. Beliau mendampingi suaminya dalam penderitaan tersebut sekalipun dampak pemboikotan membuat tubuhnya semakin lemah. Adapun Zainab Al Kubra masih berada dalam naungan suaminya Abul Ash Ibn Rabi’, sementara Ruqayyah berada bersama suaminya Utsman ibn Affan di negeri Habasyah karena mereka diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memimpin sekelompok kaum muslimin berhijrah ke sana. Tinggallah putri Rasulullah yang tersisa, yaitu Ummu Kultsum dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma. Keduanya ikut pula merasakan dampak pemboikotan terhadap Bani Hasyim tersebut. Terutama Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha.

Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkannya dari ikatan perkawinan dengan salah seorang anak Abu Lahab, seseorang yang sangat memusuhi Islam, Ummu Kultsum kembali dalam bimbingan ayahandanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usianya yang lebih tua dari Fathimah membuatnya merasa lebih bertanggungjawab terhadap keadaan adiknya dan ibundanya yang terbaring sakit. Penderitaan selama tiga tahun tersebut dijalaninya dengan penuh kesabaran diiringi sebuah keyakinan Allah pasti akan mendatangkan pertolongan dan jalan keluar dari kesulitan tersebut.

Kurang lebih pada bulan Muharram tahun ke sepuluh hijriyah pertolongan Allah mulai terlihat jelas. Allah subhanahu wa ta’ala mengutus rayap untuk memakan papan piagam perjanjian tersebut. Papan tersebut terkoyak, mayoritas tulisannya terhapus, kecuali sepenggal tulisan “Bismika Allahuma” (dengan namamu ya Allah) dan setiap bagian yang ada kata “Allah” tidak termakan rayap. Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan keadaan tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau dapat memberitakannya kepada Abu Thalib tanpa melihat piagam tersebut terlebih dahulu. Abu Thalib pun segera mengabarkan keadaan tersebut kepada pemuka Quraisy, dan mereka benar-benar mendapati piagam tersebut sebagaimana yang digambarkan oleh Abu Thalib. Akhirnya piagam itu dirobek dan dibatalkan. Allahu Akbar… itulah salah satu kebesaran kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak bisa disangkal oleh mereka. Salah satu tanda kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi sayang keadaan mereka tetap berpaling dari kebenaran serta tetap pada kekufuran mereka, sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al Quran surat Al Qamar: 2
وَإِن يَرَوْا۟ ءَايَةً يُعْرِضُوا۟ وَيَقُولُوا۟ سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ
“Dan jika mereka melihat sebuah tanda (kebesaran Allah) mereka berpaling dan berkata (ini adalah) sihir yang terus menerus.”

Setelah peristiwa itu, duka demi duka menimpa keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pemboikotan panjang telah melemahkan fisik Abu Thalib juga Khadijah radhiyallahu ‘anha sehingga keduanya sakit. Kurang lebih enam bulan setelah peristiwa tersebut Abu Thalib wafat. Disusul Khadijah radhiyallahu ‘anha 3 bulan setelahnya. Dua peristiwa duka yang menimpa terasa cukup memberatkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tekanan dan gangguan orang-orang Quraisy kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin menjadi sepeninggal paman beliau Abu Thalib. Ummu Kultsum senantiasa berada di samping sang ayah, membantu urusan rumahtangga serta mendampinginya di setiap keadaan, hingga akhirnya Allah memberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kembali membina rumahtangga, dan masuklah Ummul Mukminin Saudah binti Zam’ah sebagai istri Rasulullah yang pertama sepeninggal Khadijah.

Waktu terus berlalu. Agama Islam semakin berkembang. Upaya-upaya kafir Quraisy untuk menghentikan gerak langkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak juga membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan sebaliknya, Allah takdirkan terbangun sebuah masyarakat Islam yang cukup kokoh di Yatsrib (Madinah). Satu persatu kaum muslimin yang berada di Mekah diperintahkan berhijrah ke Madinah. Begitu pula keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha senantiasa bersama keluarganya menjalani hari demi hari dalam keadaan sebagai seorang janda. Sampai akhirnya Allah menakdirkan saudarinya Ruqayyah radhiyallahu ‘anha yang telah tinggal di Madinah pula, jatuh sakit tidak lama setelah terjadinya Perang Badar. Sakit yang dideritanya cukup berat. Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mendampingi sang istri hingga ajal menjemput.

Selama beberapa waktu Utsman bin Affan belum berkehendak untuk menikah kembali, sehingga ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menawarkan Hafshah putrinya yang menjanda setelah suaminya terbunuh pada Perang Uhud, Utsman bin Affan hanya terdiam. Ketika hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda yang artinya, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman, dan Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafshah”. Maka tak lama berselang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melamar Hafshah binti Umar untuk beliau, sedangkan Utsman bin Affan beliau nikahkan dengan putri beliau Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha. Karena itulah Utsman bin Affan diberi gelar Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), karena tidak ada yang mengumpulkan dua anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain dia. Cahaya yang pertama adalah Ruqayyah radhiyallahu ‘anha dan yang kedua adalah Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha.

Demikianlah akhirnya Ummu Kultsum hidup bersama dengan pendamping hidup yang lebih Allah ridhai. Beliau hidup bersama suami tercinta kurang lebih 6 tahun lamanya, hingga akhirnya Allah menakdirkan ajal menjemputnya pada bulan Sya’ban tahun ke 9 hijriyah tanpa meninggalkan seorang anak pun. Semoga Allah menempatkan beliau di jannah-Nya bersama dengan keluarga yang beliau cintai. Amin.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 38 Vol. 4 1437 H/ 2016 M, rubrik Niswah. Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.