وَأَمَّا اسۡتِحۡبَابُ الۡخُطۡبَةِ فِي يَوۡمِ النَّحۡرِ لِمَنۡ حَجَّ بِالنَّاسِ، فَلِحَدِيثِ الۡهِرۡمَاسِ بۡنِ زِيَادٍ قَالَ: رَأَيۡتُ النَّبِيَّ ﷺ يَخۡطُبُ النَّاسَ عَلَى نَاقَتِهِ الۡعَضۡبَاءِ يَوۡمَ الۡأَضۡحَى. أَخۡرَجَهُ أَحۡمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ. وَأَخۡرَجَ نَحۡوَهُ أَيۡضًا أَبُو دَاوُدَ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ. وَأَخۡرَجَ نَحۡوَهُ أَيۡضًا هُوَ وَالنَّسَائِيُّ مِنۡ حَدِيثِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ مُعَاذٍ التَّيۡمِيِّ.
Adapun disukainya khotbah di hari nahar bagi siapa saja yang haji memimpin orang-orang, maka berdasar hadis Al-Hirmas bin Ziyad, beliau mengatakan: Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah kepada orang-orang di atas untanya Al-‘Adhba` pada hari Iduladha. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud[1]. Abu Dawud mengeluarkan riwayat semisal itu pula[2] dari hadis Abu Umamah. Abu Dawud dan An-Nasa`i juga mengeluarkan riwayat semisal itu[3] dari hadis ‘Abdurrahman bin Mu’adz At-Taimi.
وَأَخۡرَجَ الۡبُخَارِيُّ وَأَحۡمَدُ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي بَكۡرَةَ وَفِيهِ أَنَّهُ قَالَ: (فَإِنَّ دِمَاءَكُمۡ وَأَمۡوَالَكُمۡ عَلَيۡكُمۡ حَرَامٌ، كَحُرۡمَةِ يَوۡمِكُمۡ هَٰذَا، فِي بَلَدِكُمۡ هَٰذَا، فِي شَهۡرِكُمۡ هَٰذَا، إِلَى يَوۡمِ تَلۡقَوۡنَ رَبَّكُمۡ، أَلَا هَلۡ بَلَّغۡتُ؟) قَالُوا: نَعَمۡ، قَالَ: (اللّٰهُمَّ اشۡهَدۡ، فَليُبَلِّغ الشَّاهِدُ الۡغَائِبَ، فَرُبَّ مُبَلَّغٌ أَوۡعَى مِنۡ سَامِعٍ، فَلَا تَرۡجِعُوا بَعۡدِي كُفَّارًا يَضۡرِبُ بَعۡضُكُمۡ رِقَابَ بَعۡضٍ).
Al-Bukhari dan Ahmad mengeluarkan riwayat[4] dari hadis Abu Bakrah. Di dalam hadis tersebut, beliau bersabda, “Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta kalian adalah haram seperti kehormatan hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini, sampai hari kalian berjumpa dengan Rabb kalian. Apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab: Ya. Beliau bersabda, “Ya Allah, saksikanlah. Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Terkadang orang yang disampaikan lebih paham daripada orang yang mendengar langsung. Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain.”
وَأَمَّا اسۡتِحۡبَابُ الۡخُطۡبَةِ فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشۡرِيقِ، فَلِحَدِيثِ بُسۡرَةَ ابۡنَةِ نَبۡهَانَ قَالَتۡ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ يَوۡمَ الرُّؤُوسِ فَقَالَ: (أَيُّ يَوۡمٍ هَٰذَا؟) قُلۡنَا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعۡلَمُ، قَالَ: (أَلَيۡسَ أَوۡسَطُ أَيَّامِ التَّشۡرِيقِ؟) أَخۡرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ. وَأَخۡرَجَ نَحۡوَهُ أَحۡمَدُ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي بَصۡرَةَ وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ. وَأَخۡرَجَ نَحۡوَهُ أَبُو دَاوُدَ عَنۡ رَجُلَيۡنِ مِنۡ بَنِي بَكۡرٍ.
Adapun disukai khotbah di pertengahan hari tasyrik, berdasarkan hadis Busrah bintu Nabhan, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami pada hari Ru`us (hari kedua dari hari raya kurban). Beliau bersabda, “Hari apa ini?” Kami menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Beliau bersabda, “Bukankah ini pertengahan hari tasyrik?” Dikeluarkan oleh Abu Dawud[5] dan para periwayatnya adalah periwayat kitab Shahih. Ahmad juga mengeluarkan riwayat semisal itu[6] dari hadis Abu Nadhrah[7] dan para periwayatnya adalah periwayat kitab Shahih. Abu Dawud juga mengeluarkan riwayat semisal itu[8] dari dua orang Bani Bakr.
وَأَمَّا أَنَّ الۡحَاجَّ يَطُوفُ طَوَافَ الۡإِفَاضَةِ وَهُوَ طَوَافُ الزِّيَارَةِ يَوۡمَ النَّحۡرِ، فَلِحَدِيثِ ابۡنِ عُمَرَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ أَفَاضَ يَوۡمَ النَّحۡرِ ثُمَّ رَجَعَ فَصَلَّى الظُّهۡرَ يَوۡمَ النَّحۡرِ بِمِنًى. وَفِي صَحِيحِ مُسۡلِمٍ مِنۡ حَدِيثِ جَابِرٍ نَحۡوَهُ. وَالۡمُرَادُ بِقَوۡلِهِ (أَفَاضَ) أَيۡ طَافَ طَوَافَ الۡإِفَاضَةِ. قَالَ النَّوَوِيُّ: وَقَدۡ أَجۡمَعَ الۡعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ هَٰذَا الطَّوَافَ، وَهُوَ طَوَافُ الۡإِفَاضَةِ رُكۡنٌ مِنۡ أَرۡكَانِ الۡحَجِّ لَا يَصِحُّ إِلَّا بِهِ. وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ يُسۡتَحَبُّ فِعۡلُهُ يَوۡمَ النَّحۡرِ بَعۡدَ الرَّمۡيِ وَالنَّحۡرِ وَالۡحَلۡقِ، فَإِنۡ أَخَّرَهُ عَنۡهُ وَفَعَلَهُ فِي أَيَّامِ التَّشۡرِيقِ أَجۡزَأَ وَلَا دَمَ عَلَيۡهِ بِالۡإِجۡمَاعِ.
Adapun bahwa orang yang berhaji melakukan tawaf ifadhah, yaitu tawaf ziarah pada hari nahar, maka berdasar hadis Ibnu ‘Umar di dalam dua kitab Shahih[9] dan selain keduanya: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tawaf ifadhah pada hari nahar kemudian beliau kembali dan salat Zuhur pada hari nahar di Mina. Dan di dalam Shahih Muslim[10] ada hadis dari Jabir semacam itu. Yang dimaukan dengan perkataan Ibnu ‘Umar “afadha” yakni tawaf ifadhah.
An-Nawawi berkata: Para ulama telah bersepakat bahwa tawaf ifadhah ini merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun haji yang haji tidak sah kecuali dengannya. Mereka juga bersepakat bahwa disenangi untuk mengerjakan tawaf tersebut pada hari nahar setelah melempari jamrah, menyembelih, dan menggundul. Namun apabila ia menundanya dan mengerjakannya di hari-hari tasyrik, maka itu cukup dan tidak wajib dam atasnya menurut ijmak.
وَأَمَّا أَنَّهُ إِذَا فَرَغَ مِنۡ أَعۡمَالِ الۡحَجِّ طَافَ لِلۡوَدَاعِ، فَلِحَدِيثِ ابۡنِ عَبَّاسٍ عِنۡدَ مُسۡلِمٍ رَحِمَهُ اللهُ وَغَيۡرِهِ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَنۡصَرِفُونَ فِي كُلِّ وَجۡهٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لَا يَنۡفِرُّ أَحَدُكُمۡ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ عَهۡدِهِ بِالۡبَيۡتِ)، وَفِي لَفۡظٍ لِلۡبُخَارِيِّ وَمُسۡلِمٍ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ النَّاسَ أَنۡ يَكُونَ آخِرُ عَهۡدِهِمۡ بِالۡبَيۡتِ إِلَّا أَنَّهُ خَفَّفَ عَنِ الۡمَرۡأَةِ الۡحَائِضِ. وَفِي الۡبَابِ أَحَدِيثُ، وَإِلَى وُجُوبِ طَوَافِ الۡوَدَاعِ ذَهَبَ الۡجُمۡهُورُ، وَقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ وَابۡنُ الۡمُنۡذِرِ هُوَ سُنَّةٌ لَا شَيۡءَ فِي تَرۡكِهِ.
Adapun apabila telah selesai dari amalan haji, ia melakukan tawaf wada, maka berdasar hadis Ibnu ‘Abbas riwayat Muslim rahimahullah[11] dan selain beliau. Ibnu ‘Abbas mengatakan: Dahulu, orang-orang pulang (haji) dari berbagai arah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang kalian kembali pulang hingga akhir kegiatan hajinya adalah di Kakbah.” Dan dalam redaksi milik Al-Bukhari dan Muslim[12]: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang agar akhir kegiatan haji mereka adalah di Kakbah hanya saja beliau memberi keringanan untuk wanita yang sedang haid.
Di dalam bab ini ada beberapa hadis. Mayoritas ulama berpendapat wajibnya tawaf wada. Malik, Dawud, dan Ibnul Mundzir berkata bahwa tawaf wada adalah sunah, tidak mengapa meninggalkannya.
[1] HR. Ahmad (3/485) dan Abu Dawud nomor 1954, hadis ini sahih.
[2] Nomor 1955, hadis ini sahih.
[3] HR. Abu Dawud nomor 1957 dan An-Nasa`i (5/249). Abu Dawud meriwayatkan hadis ini satu kali dari seseorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nomor 1951. Hadis ini jayyid (bagus).
[4] HR. Al-Bukhari nomor 1741 dan Ahmad (5/37). Demikian pula di dalam Shahih Muslim nomor 1679.
[5] Nomor 1953. Dalam sanadnya ada Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, seorang yang majhul. Namun hadis ini hasan lighairih dengan hadis setelahnya.
[6] (5/411) dan hadis ini sahih. Di dalam sanadnya ada Sa’id bin Iyas Al-Jurairi mukhtalith, hanya saja yang meriwayatkan darinya adalah Isma’il bin ‘Ulayyah telah mendengarnya sebelum ikhtilath. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Nadhrah dari seseorang sahabat yang tidak diketahui namanya.
[7] Pada aslinya Abu Bashrah, namun itu keliru.
[8] Nomor 1952 dan hadis ini sahih.
[9] HR. Muslim nomor 1308 dan Al-Bukhari nomor 1732 secara mauquf.
[12] HR. Al-Bukhari nomor 1755 dan Muslim nomor 1328.