Di Senin pagi yang cerah, bertepatan dengan tanggal 9 Rabi’ul Awwal, di permulaan tahun Gajah, tahun terjadinya peristiwa penyerangan Raja Yaman Abrahah ke Negeri Mekah, yang bertepatan pula dengan runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, dan bertepatan pula dengan padamnya api yang disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah, di saat itu dilahirkanlah seorang bayi laki-laki dari rahim Aminah binti Wahb bin Abdil Manaf bin Zurah bin Kilab Al Quraisyah, wanita terpandang di kalangan Quraisy, istri dari Abdullah bin Abdil Muthallib bin Hasyim bin Abdil Manaf Al Quraisyah. Ia melahirkan seorang anak yang kelak menegakkan risalah Allah di muka bumi, pembawa panji kebenaran, pembawa agama Islam. Anak laki-laki tersebut diberi nama Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Takdir Allah menentukan… ketika melahirkan bayinya, Abdullah suaminya telah meninggal dunia di tempat perdagangannya di Yatsrib Madinah. Jadilah anak tersebut lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggalkan warisan berupa lima ekor unta, sekumpulan domba, dan seorang budak wanita Habsy bernama Barkah.
Muhammad kecil shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tak pula dapat berlama-lama bersama ibunda tercinta. Pada usianya yang ke enam tahun ibundanyapun jatuh sakit dalam perjalanan pulang setelah mengunjungi makan suaminya di Yatsrib. Aminah meninggal dunia dan dimakamkan di Abwa, sebuah tempat antara Mekah dan Madinah. Kemudian Muhammad kecil shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa ke pangkuan kakeknya oleh budak wanita warisan ayahnya, Barkah.
Waktu terus bergulir, Muhammad muda shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah dewasa. Hidup berpindah dari satu asuhan ke asuhan yang lain. Kasih sayang sang kakek hanya dinikmatinya kurang lebih dua tahun saja, untuk kemudian berpindah kepada sang paman Abu Thalib. Selama itu pula sang pelayan atau budak wanitanya Barkah, senantiasa menyertai diri beliau. Setia merawat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengerti dan paham benar akan sifat, watak, dan karakter tuan mudanya dari kecil hingga menginjak dewasa, seakan-akan Barkah radhiyallahu ‘anha laksana ibunda kedua bagi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga akhirnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Khadijah bintu Khuwailid bin Asad Al Quraisyah, seorang wanita terpandang dan mempunyai kedudukan mulia di tengah kaumnya. Maka ketika merasa telah mendapatkan pendamping hidup yang menyertai beliau, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Barkah, bahkan menikahkannya dengan seorang laki-laki dari Yatsrib Madinah yaitu Ubaid bin Zaid bin Harits Al Khazrajy.
Mendapatkan kemerdekaan bagi seorang budak adalah sebuah keberuntungan dan nikmat yang sangat besar. Terlebih setelahnya dilanjutkan dengan sebuah pernikahan dengan seorang yang merdeka pula. Terasa berat hati Barkah meninggalkan tuan yang telah diasuhnya sejak kecil. Akan tetapi kewajiban terhadap suami membawanya untuk mengiringi suaminya berpindah ke Yatsrib Madinah, kota di mana suaminya bertempat tinggal. Di sanalah ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Aiman bin Ubaid. Dan semenjak itu, ia lebih dikenal dengan sebutan Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha.
Kehidupan di Yatsrib Madinah dijalani oleh Ummu Aiman bersama suaminya, akan tetapi ternyata kebersamaan mereka tidak berlangsung terlalu lama. Takdir Allah pasti yang terbaik bagi hamba-Nya. Itulah yang bisa kita lihat dari perjalanan Ummu Aiman. Di masa-masa awal diangkatnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul, suaminya meninggal dunia di Madinah. Tidaklah tebersit dalam pikiran Ummu Aiman untuk tetap bertempat tinggal di Yatsrib Madinah. Yang terlintas dalam pikirannya saat itu adalah kembali mendekat kepada mantan tuannya yang telah dikenal kebaikan dan budi pekertinya. Maka bersegeralah Ummu Aiman membawa anaknya Aiman kembali ke Mekah, mendekat ke kediaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ketika didapatinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengemban sebuah risalah kenabian, hatinya yang bersih dan fitrahnya yang lurus segera menyambut seruan tersebut. Ummu Aiman berislam dengan keislaman yang baik.
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut dengan baik kedatangan Ummu Aiman. Kasih sayang beliau kepada mantan budaknya tersebut tidak tertutupi. Tak akan bisa bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melupakan kasih sayang yang diberikan pelayan setianya tersebut semasa beliau kecil, hingga pernah terucap dari lisan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah ucapan, “Ummu Aiman adalah ibundaku sepeninggal ibunda kandungku.” Bahkan pernah pula terdengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ummu Aiman dengan sebutan, “Wahai Ibu”. SubhanAllah.
Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha pun senantiasa bersikap lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedekatan di antara keduanya sangat terasa. Terkadang didapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggoda Ummu Aiman dengan candaan beliau, akan tetapi Ummu Aiman tidak pernah merasa marah dengan candaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pernah suatu hari Ummu Aiman berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah.. boncengkanlah aku?” Kemudian Rasulullah menjawab, “Aku akan memboncengkanmu di atas anak onta betina.” Lalu Ummu Aiman berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia tidak akan mampu membawaku dan aku tidak menginginkannya.” Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berkata demikian untuk menggoda Ummu Aiman, sedang sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang hendak memboncengkan di atas onta jantan yang kuat, karena setiap onta jantan adalah anak-anak dari onta betina. Kebaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ummu Aiman tetap teringat dalam ingatan para sahabat walaupun sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu, sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, “Marilah kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengunjunginya.”
Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha mempunyai sebuah kekurangan, beliau adalah wanita yang mempunyai kesulitan dalam berbicara sehingga terkadang terjadi kekeliruan dalam melafalkan suatu perkataan. Karena kekurangannya tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan baginya untuk berucap “As Salam” ketika hendak mengucapkan salam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarangnya untuk banyak bicara. Sekalipun demikian, Ummu Aiman dikenal oleh para sahahabat akan kebaikan dan keimanannya, hingga karena melihat kebaikan dan keimanan Ummu Aiman, pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah diucapkan, “Barang siapa ingin menikah dengan seorang wanita ahli surga hendaknya dia menikahi Ummu Aiman.” Maka mendengar pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ummu Aiman tersebut, tergeraklah hati Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahinya. Dari pernikahan kedua orang terkasih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, terlahirlah seorang putra yang diberi nama Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu.
Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah maka berangkatlah Ummu Aiman beserta suaminya dan kedua anaknya. Bersama mereka adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang telah menikah dengan Ruqayyah binti Rasulullah, juga Fathimah dan Ummu Khultsum binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusul bersama Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu.
Selama berislam, Ummu Aiman benar-benar berusaha membuktikan kebenaran keimanannya. Dijumpai beberapa kali beliau mengikuti perang jihad di jalan Allah bersama Rasulullah. Ketika usianya mulai beranjak tua didapati beliau turut serta dalam medan jihad sekalipun bertugas di bagian belakang, mengobati orang yang terluka ataupun menuangkan air. Tidak ditampakkannya kesedihan mendalam sekalipun ia harus kehilangan suaminya Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu pada perang Mu’tah, dan juga putra sulungnya Aiman yang syahid pada perang Hunain. Asalkan semua berjalan di atas syariat-Nya, ia yakin akhir yang akan didapati adalah kebaikan, baik bagi suami dan putranya, maupun bagi dirinya sendiri.
Dan semua ini terbukti. Sekalipun Ummu Aiman diberi usia panjang oleh Allah subhanahu wa ta’ala, ia dapat mengisi masa hidupnya dengan kebaikan bagi dirinya dan kaum muslimin. Bahkan Ummu Aiman didapati melaksanakan prosesi pemandian jenazah beberapa shahabiyah yang meninggal terlebih dahulu sebelum dirinya. Adalah Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha termasuk wanita yang memandikan jasad Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dua Ummul Mukminin istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Saudah binti Zam’ah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Sementara Ummu Aiman sendiri wafat pada awal masa kepemerintahan khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, 20 hari setelah terbunuhnya Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau, sang ibunda kedua bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberikan tempat sebaik-baiknya di sisi-Nya… Amin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 60 vol.06 1439 H rubrik Niswah. Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa’.