Siapa orangnya yang tidak ingin dikenang oleh orang yang dicintainya. Selalu diingat di hatinya, sering kali disebut namanya di lisannya, sekalipun yang dikenang telah lama tiada, mendahului berpulang keharibaan-Nya. Ibarat kekasih, dialah kekasih sepanjang masa. Tak dapat tergantikan di hati walaupun telah ada yang lain menemani. Tak dapat terlupakan di ingatan walaupun telah berlalu banyak peristiwa. Rasa cinta kepadanya tidak terputus hanya karena terpisahkan kematian. Sungguh beruntung seseorang yang mendapatkan kasih sayang seperti itu. Tentu ada sebab khusus yang membuat seseorang menjadi begitu berarti di hati orang lain. Namun, demikianlah kiranya jika kita mau menggambarkan rasa cinta dan kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri pertama beliau. Dia adalah Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
Jikalau kita memerhatikan kisah perjalanan kehidupan Khadijah bintu Khuwailid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita tidak akan merasa heran mengapa Khadijah radhiyallahu ‘anha mendapatkan tempat yang begitu mendalam di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum Allah mempertemukan mereka berdua, Khadijah memang sudah menjadi sesosok wanita yang matang dan pantas untuk menjadi pendamping pemimpin umat ini. Khadijah adalah seorang wanita yang mempunyai paras rupawan, mempunyai nasab yang mulia, memiliki harta, dan memiliki kematangan serta kedewasaan yang melebihi wanita yang lain di kalangan kaumnya. Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan pertemuan antara mereka berdua tentu bukan tanpa maksud. Risalah yang akan Allah embankan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah perkara yang ringan. Bahkan menanti di hadapannya berbagai gangguan dan rintangan yang harus dihadapi. Mungkin itulah salah satu hikmah Allah subhanahu wa ta’ala memilihkan bagi Rasul-Nya Khadijah sebagai pendamping pertama dalam kehidupan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam muda memang terkenal kebagusan akhlak dan kejujurannya, sehingga tertariklah Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha yang ketika itu dalam keadaan menjanda untuk memperkerjakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semakin lama bekerja bersamanya, semakin terlihat pesona kepribadian anak muda tersebut. Bahkan kekaguman Khadijah terhadap diri Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalahkan pandangan dan penilaiannya kepada para pembesar Quraisy yang tidak sedikit di antara mereka tertarik untuk melamarnya. Kekaguman yang akhirnya berbuah kecondongan yang ada dalam hati Khadijah terhadap diri Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tertangkap oleh shahabat Khadijah yaitu Nafisah bintu Munyah. Maka Nafisah kemudian mencoba mengutarakan hal tersebut ke hadapan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Takdir Allah memang mesti terlaksana. Sekalipun perbedaan usia antara Khadijah dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu berpaut umur yang cukup jauh, Allah memberikan kecondongan pula di hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam muda untuk menerima penawaran Nafisah yang meminta beliau menikahi Khadijah bintu Khuwailid. Khadijah bintu Khuwailid yang ketika itu berusia 40 tahun, sedangkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam 25 tahun.
Sungguh sebuah pernikahan yang mengandung banyak hikmah di dalamnya. Kebahagiaan demi kebahagiaan menyelimuti pernikahan mereka berdua. Lahirlah dari keduanya putra putri penyejuk hati. Al Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Khultsum, Fatimah, dan Abdullah. Sehingga jadilah kehidupan mereka penuh dengan rasa syukur dan limpahan rahmat dari Sang Maha Kuasa. Kemapanan hidup yang mereka rasakan Allah jadikan salah satu sebab yang membawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam muda dapat memaksimalkan dirinya mencari hakekat kehidupan di dunia. Kebersihan fitrah yang Allah berikan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak kecil hingga dewasa, terus berlanjut hingga beliau berkeluarga. Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali memanfaatkan waktunya untuk menyendiri dari keramaian manusia untuk merenungi kebesaran dan keagungan penguasa semesta alam, menjauh dari segala kemusyrikan peribadatan yang dilakukan oleh kaumnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali pergi ke Gua Hira di Jabal Nur, sebuah gua yang tidak terlalu besar, yang berjarak kurang lebih dua mil dari Kota Mekkah.
Sampai akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala kemudian berkehendak mengangkat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi seorang nabi dan Rasul di usia 40 tahun. Di dalam keremangan Gua Hira, di bulan Ramadhan, datanglah malaikat kepada beliau seraya berkata “Bacalah!” Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Malaikat tersebut mengulangi perintahnya hingga ketiga kalinya, kemudian memegangi dan merangkul beliau hingga beliau merasa sesak kemudian melepaskan beliau dan berkata:
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ خَلَقَ ٱلْإِنسَـٰنَ مِنْ عَلَقٍ ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ عَلَّمَ ٱلْإِنسَـٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” [QS. Al Alaq 1-5]
Dengan perasaan yang masih penuh dengan ketakutan, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti bacaan tersebut. Setelah peristiwa itu berlalu, maka pulanglah beliau dengan badan menggigil dan gemetar berkata kepada istrinya Khadijah, “Selimutilah aku, selimutilah aku!” Maka Khadijah radhiyallahu ‘anha sebagai soerang istri yang ketika itu telah berusia 55 tahun dapat berperan dengan baik untuk menenangkan dan menghibur hati suami yang sedang dilanda ketakutan. Setelah dapat menenangkan diri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan apa yang telah terjadi, dan beliau mengutarakan kekhawatiran beliau terhadap dirinya sendiri, khawatir telah mengganggu pikiran dan kejiwaannya.
Maka Khadijah radhiyallahu ‘anha sebagai seorang istri yang sangat mengenal suaminya, berkata menenangkan, “Tidak demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Engkau adalah orang yang suka menyambung tali persaudaraan, senang meringankan beban orang lain, senang memberi makan orang miskin, senang menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.” Maka Khadijah membawa suaminya pergi mengunjungi anak pamannya yang dikenal taat beragama, yaitu Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil Uzza. Waraqah adalah seorang Nasrani yang taat. Dia mengerti kitab Injil dan membacanya. Dia seorang yang tua dan buta.
Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang beliau alami, serta merta Waraqah berkata, “Itu adalah Namus, (Malaikat Jibril) yang diturunkan Allah kepada Musa. Andai saja aku masih muda pada saat itu, andai aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu…” “Benarkah mereka akan mengusirku?” Tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Benar, tidak ada seorangpun yang pernah membawa seperti yang akan engkau bawa melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada saat itu tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh,” ujar Waraqah meyakinkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Waraqah berkata demikian karena ia memahami apa yang dijanjikan Allah dalam kitab-kitab sebelumnya yaitu Taurat dan Injil, akan datang seorang nabi terakhir, penutup para nabi, dengan tanda-tanda yang dapat dikenali bagi yang mengetahui. Tapi takdir Allah menetapkan Waraqah tidak hidup lama setelahnya. Waraqah wafat pada saat-saat awal turunnya wahyu.
Setelah mendapatkan penjelasan dari Waraqah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sedikit tenang dan mulai tumbuh keyakinan di dalam diri beliau akan benarnya perkataan Waraqah. Akan tetapi perkara ini tidak berlalu begitu saja. Beberapa saat setelah wahyu yang pertama turun, beliau kembali berjumpa dengan malaikat yang menjumpai beliau di Gua Hira, dan turunlah kepada beliau Al Qur’an Surat Al Mudatsir: 1-7,
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْمُدَّثِّرُ ١ قُمْ فَأَنذِرْ ٢ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ ٣ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ٤ وَٱلرُّجْزَ فَٱهْجُرْ ٥ وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ ٦ وَلِرَبِّكَ فَٱصْبِرْ ٧
“Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”
Maka dengan turunnya surat tersebut, tetaplah sudah perintah bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa wajib bagi beliau untuk memberikan peringatan kepada kaumnya, bahkan kepada umat manusia semuanya, untuk mengajari mereka menauhidkan Allah semata dalam setiap peribadatan, dan untuk memberi peringatan akan bahayanya menyekutukan Allah dalam perkara tersebut. Tentu pihak pertama yang diharapkan dukungannya adalah keluarga tercinta yaitu istri dan anak-anak beliau. Maka Khadijah radhiyallahu ‘anha adalah orang pertama yang beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, disusul ke empat putri mereka, Zainab, Ruqayyah, Ummu Khultsum, dan Fathimah. Sementara kedua putra mereka wafat dalam usia kanak-kanak. Kemudian mengikuti mereka, maula beliau Zaid bin Haritsah, kemudian anak paman beliau Ali bin Abi Thalib dan shahabat beliau Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhum.
Perjalanan dakwah baru dimulai. Apa yang dikatakan Waraqah terbukti sebagaimana tersebut dalam kitab terdahulu. Dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditentang, dihalangi dilecehkan bahkan diberikan gangguan-gangguan yang menyakitkan. Tapi yang demikian itulah sunnatullah. Ketetapan Allah yang mesti terjadi. Dan gangguan itu adalah ujian dari Allah atas keimanan mereka. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الٓمٓ ١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ٢﴾وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَـٰذِبِينَ ٣
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta.” [Q.S. Al Ankabut: 1-3].
Demikianlah. Masa-masa awal kenabian adalah masa perjuangan yang sangat berat. Celaan, hinaan, gangguan kepada keluarga Rasulullah semakin menjadi. Khadijah binti Khuwailid menghadapi segala keadaan dengan penuh kesabaran. Dengan segenap kemampuan dicurahkannya perhatian, dan dukungan kepada suaminya dari segala sisi. Hartanya, jiwanya, pikiran, tenaga, dan hatinya tertuju pada dakwah yang dibawa oleh suaminya. Tidak pernah tebersit di dalam benaknya untuk mundur ke belakang, setelah mengetahui rintangan yang harus dihadapi. Bantuannya yang besar dalam mendukung dan meneguhkan hati suaminya menghadapi berbagai rintangan membuat perannya sungguh tidak mungkin terlupakan, menetap dan senantiasa terkenang di sudut hati Rasulullah yang paling dalam. Bahkan ketika kafir Quraisy sepakat memboikot Bani Hasyim dan Bani Al Muthallib karena sebab dukungan dan pembelaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khadijah radhiyallahu ‘anha senantiasa berada di sisi suaminya menghadapi masa-masa sulit tersebut. Sekalipun ketika itu usia Khadijah sudah melebihi 60 tahun.
Tiga tahun masa pemboikotan sungguh menjadi masa yang panjang disebabkan keadaan yang benar-benar sulit. Musyrikin Quraisy tidak membiarkan ada barang dagangan masuk ke dalam Makkah kecuali mereka pasti memborongnya agar Bani Hasyim dan Bani Al Muthallib tidak mendapatkan suatu apapun untuk kebutuhan mereka. Harga dibuat menjadi begitu tinggi ketika barang telah berada di tangan mereka hingga Bani Hasyim tidak mampu membelinya. Rintihan kelaparan terdengar dari perkampungan mereka. Tetapi Rasulullah tetap berdakwah menyeru mereka kepada Islam. Hingga akhirnya pada bulan Muharram tahun ke sepuluh dari nubuwwah, piagam pemboikotan yang mereka buat Allah takdirkan terkoyak. Allah memberikan pertolongan dan menuntaskan ujian kepada orang-orang yang beriman dengan kehendak-Nya. Musyrikin Quraisy menyaksikan sendiri piagam tersebut termakan rayap, dan terhapuslah isinya kecuali sepenggal tulisan bertuliskan “Bismika Allahumma” dan setiap tulisan yang ada kata Allah di dalamnya. SubhanAllah… Dan akhirnya musyrikin Quraisy memutuskan untuk menghentikan pemboikotan yang mereka lakukan.
Pemboikotan yang panjang memberikan dampak yang cukup besar bagi kesehatan Abu Thalib paman Rasulullah dan juga istri beliau Khadijah radhiyallahu ‘anha yang ketika itu telah berusia lanjut. Keduanya tertimpa sakit yang cukup serius, bahkan kurang lebih 6 bulan setelah pemboikotan tersebut, Abu Thalib wafat. Sayangnya, Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa membantu dan membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mati dalam keadaan kafir, masih berpegang kepada agama nenek moyangnya. Allahlah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Teman-teman Abu Thalib senantiasa mendampinginya di saat-saat akhir kehidupannya, sehingga sulit bagi Abu Thalib untuk meninggalkan agama nenek moyangnya disebabkan kecondongannya kepada teman-temannya yang buruk. Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita dijauhkan dari teman-teman yang buruk.
Kurang lebih 3 bulan setelah kematian Abu Thalib, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha wafat, tepatnya pada bulan Ramadhan tahun ke sepuluh nubuwwah, pada usia 65 tahun. Sungguh tahun yang penuh duka bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kehilangan dua sosok yang selama ini sangat berperan di dalam kehidupan beliau. Terutama Khadijah. Dia adalah sosok pendamping setia, menyayangi sepenuh hati, menenangkan di kala gundah, membantu di kala susah, senantiasa bersama dalam suka dan duka. Pantaslah kiranya kenangan bersamanya tidak mungkin terlupakan. Bahkan teriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memuji Khadijah yang artinya, “Dia beriman kepadaku saat semua mengingkariku, dia membenarkanku saat semua mendustakanku, dia menyerahkan hartanya kepadaku saat semua tidak mau memberikannya, dan Allah mengkaruniakan kepadaku anak darinya yang Allah tidak memberikannya kepadaku dari wanita selainnya.” SubhanAllah…
Bukan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan pujian dan pernyataan akan kebaikan Khadijah, tapi Jibril ‘alaihis salam pun pernah menyampaikan salam dan kabar gembira dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada Khadijah akan adanya balasan baginya di surga dalam keadaan dia masih hidup. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Jibril ‘alaihis salam datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah Khadijah, dia datang kepadamu membawa bejana yang di dalamnya terdapat lauk, makanan dan minuman. Maka jika dia mendatangimu sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya dan dariku, dan sampaikan kabar gembira kepadanya tentang sebuah rumah di surga yang tidak ada kegaduhan di dalamnya dan tidak pula keletihan.” SubhanAllah.
Rasa sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha tampak jelas terlihat. Sepeninggal Khadijah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali mengunjungi orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dan kedekatan kepada Khadijah di masa hidupnya, sebagai bentuk menyambung tali kasih sayang dengan orang-orang yang pernah dekat dengan Khadijah. Jika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih seekor kambing, beliau tidak lupa untuk menghadiahkan sebagiannya pada orang-orang terdekat Khadijah. Hal tersebut terasakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri tercinta Rasulullah sepeninggal Khadijah. Bahkan tak elak muncul kecemburuan dalam diri Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Tidaklah aku pernah cemburu kepada seorang wanita sebagaimana kecemburuanku kepada Khadijah. Sungguh dia telah wafat 3 tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, (akan tetapi) aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali menyebutnya.”
Pantaslah kiranya kasih dan sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha terus terjaga sepeninggalnya. Kemuliaan Khadijah bukan hanya semata untuk meraih kecintaan suami, tapi didasari keimanan yang kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Wanita yang mulia di sisi Rabbnya pantas mendapatkan balasan setimpal di dunia berupa kasih sayang yang besar dari suaminya, dan balasan di akhirat kelak berupa surga-Nya. Dan sudah sepantasnya pula wanita setelahnya menjadikannya sebagai suri teladan, dan mengambil pelajaran dari pelajaran hidupnya yang penuh kemuliaan. Semoga kita dimudahkan… amin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 52 vol.05 1439 H rubrik Niswah. Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.