Cari Blog Ini

Ad-Dararil Mudhiyyah - Nikah Mutah, Tahlil, dan Sigar; serta Syarat dalam Pernikahan

فَصۡلٌ فِي بَيَانِ أَنَّ نِكَاحَ الۡمُتۡعَةِ مَنۡسُوخٌ وَالتَّحۡلِيلَ حَرَامٌ

وَنِكَاحُ الۡمُتۡعَةِ مَنۡسُوخٌ، وَالتَّحۡلِيلُ حَرَامٌ؛ وَكَذٰلِكَ الشِّغَارُ، وَيَجِبُ عَلَى الزَّوۡجِ الۡوَفَاءُ بِشَرۡطِ الۡمَرۡأَةِ، إِلَّا أَنۡ يُحِلَّ حَرَامًا أَوۡ يُحَرِّمَ حَلَالًا.
Nikah mutah mansukh. Nikah tahlil haram, demikian pula nikah sigar. Wajib atas calon suami untuk memenuhi syarat yang diajukan si wanita kecuali syarat yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.
أَقُولُ: أَمَّا نِكَاحُ الۡمُتۡعَةِ؛ فَلَا خِلَافَ أَنَّهُ قَدۡ كَانَ ثَابِتًا فِي الشَّرِيعَةِ كَمَا صَرَحَ بِهِ الۡقُرۡآنُ: ﴿فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ﴾ [النساء: ٢٤] وَلَمَّا فِي الصَّحِيحَيۡنِ مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ مَسۡعُودٍ قَالَ: (كُنَّا نَغۡزُو مَعَ النَّبِيِّ ﷺ لَيۡسَ مَعَنَا نِسَاءٌ؛ فَقُلۡنَا: أَلَا نَخۡتَصِي؟ فَنَهَانَا رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنۡ ذٰلِكَ، ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا بَعۡدُ أَنۡ نَنۡكِحَ الۡمَرۡأَةَ بِالثَّوۡبِ إِلَى أَجَلٍ). وَفِي الۡبَابِ أَحَادِيثُ. وَثَبَتَ النَّسۡخُ مِنۡ حَدِيثِ جَمَاعَةٍ؛ فَأَخۡرَجَ مُسۡلِمٌ وَغَيۡرُهُ مِنۡ حَدِيثِ سَبۡرَةَ الۡجُهَنِيِّ (أَنَّهُ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فَتۡحَ مَكَّةَ؛ فَأَذِنَ لَهُمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي مُتۡعَةِ النِّسَاءِ). قَالَ: فَلَمۡ يَخۡرُجۡ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ. وَفِي لَفۡظٍ مِنۡ حَدِيثِهِ: (وَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ ذٰلِكَ إِلَى يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ). وَأَخۡرَجَ التِّرۡمِذِيُّ عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ: (إِنَّمَا كَانَتِ الۡمُتۡعَةُ فِي أَوَّلِ الۡإِسۡلَامِ حَتَّى نَزَلَتۡ هٰذِهِ الۡآيَةُ: ﴿إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ﴾ [المعارج: ٣٠]). وَفِي الصَّحِيحَيۡنِ مِنۡ حَدِيثِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ: (نَهَى عَنۡ مُتۡعَةِ النِّسَاءِ يَوۡمَ خَيۡبَر). وَالۡأَحَادِيثُ فِي هَٰذَا الۡبَابِ كَثِيرَةٌ، وَالۡخِلَافُ طَوِيلٌ؛ وَقَدۡ اسۡتَوۡفَيۡتُ ذٰلِكَ فِي شَرۡحِ الۡمُنۡتَقَى. وَرِوَايَةُ مَنۡ رَوَى تَحۡرِيمَهَا إِلَى يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ هِيَ الۡحُجَّةُ فِي هَٰذَا الۡبَابِ.
Aku (Imam Asy-Syaukani) katakan: Adapun nikah mutah, maka tidak ada perselisihan bahwa nikah mutah ini pernah ada di dalam syariat, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, “Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” (QS. An-Nisa`: 24). Dan berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud di dalam dua kitab Shahih[1], beliau mengatakan: Kami pernah pergi berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tidak ada istri yang ikut bersama kami. Kami bertanya: Bolehkah kami mengebiri diri kami? Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami dari perbuatan itu, kemudian setelah itu, beliau memberi keringanan kepada kami untuk kami menikahi wanita dengan mahar sehelai pakaian untuk jangka waktu tertentu.” Di dalam bab ini ada beberapa hadis.
Dan penghapusan nikah mutah ini telah pasti dari hadis beberapa sahabat. Muslim[2] dan selain beliau mengeluarkan riwayat dari hadis Sabrah Al-Juhani, bahwa beliau pernah pergi berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Fathu Makkah, lalu beliau memberi izin mereka untuk nikah mutah. Sabrah berkata: Lalu beliau tidak keluar (dari Makkah) hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan nikah mutah. Dan dalam sebuah lafal dari hadis beliau, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan nikah mutah sampai hari kiamat.” At-Tirmidzi[3] mengeluarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa dahulu pernah ada nikah mutah di awal Islam hingga turun ayat ini, “kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki.” (QS. Al-Ma’arij: 30). Dan di dalam dua kitab Shahih[4] dari hadis ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari nikah mutah pada hari Khaibar. Hadis-hadis dalam bab ini ada banyak dan perselisihannya panjang. Aku telah mengumpulkan semua hal itu di dalam kitab Syarh Al-Muntaqa. Riwayat orang yang meriwayatkan pengharamannya hingga hari kiamat adalah argumen yang dipegang dalam bab ini.
وَأَمَّا تَحۡرِيمُ التَّحۡلِيلِ، فَلِحَدِيثِ ابۡنِ مَسۡعُودٍ عِنۡدَ أَحۡمَدَ وَالنَّسَائِيِّ وَالتِّرۡمِذِيِّ وَصَحَّحَهُ قَالَ: (لَعَنَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الۡمُحَلِّلَ وَالۡمُحَلَّلَ لَهُ)، وَصَحَّحَهُ أَيۡضًا ابۡنُ الۡقَطَّانِ، وَابۡنُ دَقِيقِ الۡعِيدِ، وَلَهُ طَرِيقٌ أُخۡرَى أَخۡرَجَهَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ، وَطَرِيقٌ ثَالِثَةٌ أَخۡرَجَهَا إِسۡحَاقُ فِي مُسۡنَدِهِ. وَأَخۡرَجَ أَحۡمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابۡنُ مَاجَة، وَالتِّرۡمِذِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابۡنُ السَّكَنِ مِنۡ حَدِيثِ عَلِيٍّ مِثۡلَهُ. وَأَخۡرَجَ ابۡنُ مَاجَة وَالۡحَاكِمُ مِنۡ حَدِيثِ عُقۡبَةَ بۡنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَلَا أُخۡبِرُكُمۡ بِالتَّيۡسِ الۡمُسۡتَعَارِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: هُوَ الۡمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ الۡمُحَلِّلَ، وَالۡمُحَلَّلَ لَهُ)، وَفِي إِسۡنَادِهِ يَحۡيَى بۡنُ عُثۡمَانَ وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَقَدۡ أُعِلَّ بِالۡإِرۡسَالِ. وَأَخۡرَجَ أَحۡمَدُ، وَالۡبَيۡهَقِيُّ، وَالۡبَزَّارُ، وَابۡنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالتِّرۡمِذِيُّ فِي الۡعِلَلِ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ نَحۡوَهُ وَحَسَّنَهُ الۡبُخَارِيُّ. وَأَخۡرَجَ الۡحَاكِمُ وَالطَّبۡرَانِيُّ فِي الۡأَوۡسَطِ مِنۡ حَدِيثِ عُمَرَ أَنَّهُمۡ كَانُوا يَعُدُّونَ التَّحَلُّلَ سَفَاحًا فِي عَهۡدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ.
Adapun pengharaman tahlil, berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud riwayat Ahmad, An-Nasa`i, dan At-Tirmidzi[5]. Beliau menyatakan sahih. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhalil (seorang pria menikahi seorang wanita yang telah ditalak tiga oleh suami sebelumnya, dengan tujuan akan menceraikannya agar menjadi halal untuk dinikahi kembali oleh mantan suaminya itu) dan muhallal lahu (mantan suami yang merekayasa nikah tahlil tersebut).” Ibnu Al-Qaththan dan Ibnu Daqiqil ‘Id juga menilai hadis tersebut sahih. Hadis tersebut juga memiliki jalan lain yang dikeluarkan oleh ‘Abdur Razzaq[6]. Juga memiliki jalan ketiga yang dikeluarkan Ishaq di dalam Musnadnya. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi[7] mengeluarkan hadis ‘Ali semisal hadis tersebut dan dinilai sahih oleh Ibnu As-Sakan. Ibnu Majah dan Al-Hakim[8] mengeluarkan dari hadis ‘Uqbah bin ‘Amir, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian dengan at-tais al-musta’ar (domba pejantan yang dipinjamkan untuk mengawini)?” Para sahabat menjawab: Tentu wahai Rasulullah. Beliau bersabda, “Ia adalah muhalil. Allah melaknat muhalil dan muhallal lahu.” Di dalam sanadnya ada Yahya bin ‘Utsman dan dia daif. Hadis ini dinilai cacat karena ada irsal. Ahmad, Al-Baihaqi, Al-Bazzar, Ibnu Abu Hatim, dan At-Tirmidzi[9] di dalam Al-‘Ilal mengeluarkan riwayat dari hadis Abu Hurairah semisal hadis tersebut dan dinilai hasan oleh Al-Bukhari. Al-Hakim dan Ath-Thabrani[10] di dalam Al-Ausath juga mengeluarkan dari hadis ‘Umar bahwa mereka menganggap perbuatan tahlil sebagai zina di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَأَمَّا تَحۡرِيمُ الشِّغَارِ، فَلِثُبُوتِ النَّهۡيِ عَنۡهُ كَمَا فِي حَدِيثِ ابۡنِ عُمَرَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ. وَأَخۡرَجَ مُسۡلِمٌ رَحِمَهُ اللهُ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: (نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنِ الشِّغَارِ) وَالشِّغَارُ: أَنۡ يَقُولَ الرَّجُلُ زَوِّجۡنِي ابۡنَتَكَ عَلَى أَنۡ أُزَوِّجُكَ ابۡنَتِي، أَوۡ زَوِّجۡنِي أُخۡتَكَ عَلَى أَنۡ أُزَوِّجَكَ أُخۡتِي. وَأَخۡرَجَ مُسۡلِمٌ أَيۡضًا مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (لَا شِغَارَ فِي الۡإِسۡلَامِ). وَفِي الۡبَابِ أَحَادِيثُ. قَالَ ابۡنُ عَبۡدِ الۡبَرِّ: أَجۡمَعَ الۡعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ نِكَاحَ الشِّغَارِ لَا يَجُوزُ، وَلٰكِنِ اخۡتَلَفُوا فِي صِحَّتِهِ، وَالۡجُمۡهُورُ عَلَى الۡبُطۡلَانِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: هَٰذَا النِّكَاحُ بَاطِلٌ كَنِكَاحِ الۡمُتۡعَةِ. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: جَائِزٌ وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنۡهُمَا مَهۡرٌ مِثۡلُهَا.
Adapun pengharaman nikah sigar, berdasarkan kepastian larangan darinya. Sebagaimana di dalam hadis Ibnu ‘Umar di dalam dua kitab Shahih[11] dan selain keduanya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari nikah sigar. Muslim[12] rahimahullah mengeluarkan riwayat dari hadis Abu Hurairah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari nikah sigar. Nikah sigar adalah seorang pria berkata: Nikahkanlah aku dengan putrimu sebagai timbal balik dari aku menikahkan engkau dengan putriku; atau nikahkan aku dengan saudarimu sebagai timbal balik dari aku nikahkan engkau dengan saudariku. Muslim[13] juga mengeluarkan riwayat dari hadis Ibnu ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada nikah sigar di dalam Islam.” Di dalam bab ini ada beberapa hadis. Ibnu ‘Abdul Barr[14] berkata: Para ulama bersepakat bahwa nikah sigar tidak boleh, tetapi mereka berselisih akan sahnya. Mayoritas ulama berpendapat batilnya nikah tersebut. Asy-Syafi’i berkata: Nikah ini adalah batil seperti nikah mutah. Abu Hanifah berkata: Boleh asalkan setiap satu pernikahan itu ada mahar yang semisal. 
وَأَمَّا كَوۡنُهُ يَجِبُ عَلَى الزَّوۡجِ الۡوَفَاءُ بِشَرۡطِ الۡمَرۡأَةِ، فَلِحَدِيثِ عُقۡبَةَ بۡنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنۡ يُوفَى بِهِ مَا اسۡتَحۡلَلۡتُمۡ بِهِ الۡفُرُوجَ) وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا.
Adapun perihal wajibnya mempelai pria untuk menunaikan syarat mempelai wanita, berdasarkan hadis ‘Uqbah bin ‘Amir, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Syarat yang paling pantas untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan.” Hadis ini ada di dalam dua kitab Shahih[15] dan selainnya.
وَأَمَّا الشَّرۡطُ الَّذِي يُحِلُّ الۡحَرَامَ، وَيُحَرِّمُ الۡحَلَالَ، فَلَا يَحِلُّ الۡوَفَاءُ بِهِ؛ كَمَا وَرَدَ بِذٰلِكَ الدَّلِيلُ. وَقَدۡ ثَبَتَ النَّهۡيُ عَنِ اشۡتِرَاطِ أُمُورٍ كَحَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا: (أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى أَنۡ يَخۡطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خُطۡبَةِ أَخِيهِ؛ أَوۡ يَبِيعَ عَلَى بَيۡعِهِ، وَلَا تَسۡأَلَ الۡمَرۡأَةُ طَلَاقَ أُخۡتِهَا، لِتَكۡفَأَ مَا فِي صَحۡفَتِهَا، فَإِنَّمَا رَزَقَهَا اللهُ). وَأَخۡرَجَ أَحۡمَدُ مِنۡ حَدِيثِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (لَا يَحِلُّ أَنۡ يَنۡكِحَ الۡمَرۡأَةِ بِطَلَاقِ أُخۡرَى).
Adapun syarat yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal, maka tidak boleh dipenuhi; sebagaimana dalil menunjukkan hal itu. Telah pasti adanya larangan dari pengajuan syarat perkara-perkara tersebut, seperti hadis Abu Hurairah di dalam dua kitab Shahih[16] dan selainnya: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang pria melamar di atas lamaran saudaranya atau menjual di atas penjualan saudaranya. Beliau juga melarang seorang wanita untuk meminta suaminya menceraikan madunya agar menumpahkan isi piring madunya, karena Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya. Ahmad[17] juga mengeluarkan dari hadis ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menikahi seorang wanita dengan syarat menceraikan istri yang lain.”

[3] Nomor 1122, hadis ini sudah pasti lemah, dalam sanadnya ada Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzi yang sangat lemah. 
[5] HR. Ahmad (1/448), An-Nasa`i (6/149), dan At-Tirmidzi nomor 1120. Hadis ini hasan. 
[6] Al-Mushannaf (6/269), yang nampak hadis ini mauquf
[7] HR. Ahmad (1/83), Abu Dawud nomor 2076, Ibnu Majah nomor 1935, dan At-Tirmidzi nomor 1119. Hanya saja At-Tirmidzi menggandengkannya dengan hadis Jabir, lalu beliau berkata: Hadis ‘Ali dan Jabir adalah hadis yang ma’lul (mengandung ilat). 
[8] HR. Ibnu Majah nomor 1936 dan Al-Hakim (2/200). 
[9] HR. Ahmad (2/323), Al-Baihaqi (7/208), Al-Bazzar di dalam Al-Bahr (15/152), Ibnu Abu Hatim di dalam ‘Ilal (1/413), dan At-Tirmidzi nomor 273. 
[10] HR. Al-Hakim (2/199) dan Ath-Thabrani (6/223). 
[14] At-Tamhid (14/72). 
[16] HR. Al-Bukhari secara terpisah nomor 5144 dan 5152; dan Muslim nomor 1413
[17] (2/176) dan hadis ini daif. Di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah dan Abu Salim Al-Jaisyani Sufyan bin Hani. Orang pertama daif dan orang kedua majhul hal.