Pada era generasi tabi’in banyak ulama-ulama besar bertebaran di berbagai penjuru negeri. Saat itu masih begitu dekat dengan zaman keNabian yang merefleksikan kejayaan Islam di berbagai penjuru dunia. Dari sekian banyak pembesar tabi’in, tersebutlah seorang ulama yang bernama Amir Syarahil bin Abd bin Dzi kibar rahimahullah. Dzu Kibar adalah nama sebuah kabilah (suku) yang tinggal di Negeri Yaman. Namun beliau lebih populer dengan sebutan Asy Sya’bi dan kunyahnya adalah Abu Amr Al Hamdani.
Beliau diakui sebagai imam di masanya dan simbol ulama yang sangat berilmu di era generasi tabi’in. Ibunda beliau berasal dari tawanan perang Jalula, yaitu sebuah desa yang terletak di Persia. Di tempat itulah kaum muslimin berhasil menaklukkan orang-orang Persia dalam sebuah pertempuran yang terjadi pada tahun 16 H. Secara geografis, Jalula sekarang masuk wilayah Irak dan dikenal dengan sebutan As Sa’diyah.
ULAMA 500 GURU
Asy Sya’bi rahimahullah dilahirkan kurang lebih enam tahun setelah berlangsungnya masa pemerintahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Namun versi lain menukilkan bahwa beliau dilahirkan pada tahun 21 H. Memang beliau terlahir di Kufah Negeri Irak namun demikian beliau sering meluangkan banyak waktu ke Madinah. Karena di kota Nabi itulah dahulu para sahabat bertebaran dalam berbagai majelis sehingga kota itu menjadi idaman para penuntut ilmu.
Jarak Kufah-Madinah memang cukup jauh, namun kendati demikian hal itu tidak mengendorkan antusiasnya dalam menuntut ilmu agama. Di situlah Asy Sya’bi berjumpa dengan puluhan atau bahkan ratusan sahabat yang mulia untuk meriwayatkan hadis dari mereka. Dikisahkan dari Manshur bin Abdurrahman bahwa Asy Sya’bi menyatakan, “Aku pernah menjumpai 500 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Apa yang beliau sampaikan tersebut bukan pernyataan yang berlebihan karena memang demikian adanya. Beliau telah berjumpa dengan sekian banyak sahabat di Madinah. Dalam usia yang masih muda beliau diberi kemudahan untuk menuntut ilmu dari ratusan sahabat. Bahkan di antara mereka adalah pembesar-pembesar para sahabat seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Musa Al Asy’ari, Adi bin Hatim, Usamah bin Zaid, Abu Hurairah, Aisyah, Jabir bin Samurah, Abdullah bin Umar, Imran bin Hushain, Al Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Amr, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr, Ka’ab bin ‘Ujrah, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud Al Badry, Samurah bin Jundab, An Nu’man bin Basyir, Al Bara’ bin ‘Azib, Zaid bin Arqam, Al Hasan bin Ali, Jabir bin Abdillah, Maimunah, Ummu Salamah, Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhum, dan masih banyak yang lainnya.
Sejatinya selain tujuan utamanya adalah untuk menimba ilmu agama dari telaga ilmu para sahabat di Madinah, Asy Sya’bi juga punya maksud lain meninggalkan Kota Kufah. Ya, ia sempat tinggal di Madinah selama 8 tahun dalam rangka untuk menghindarkan diri dari kekejaman Al Hajjaj bin Yusuf. Di kota itulah Asy Sya’bi bisa mendapatkan ketenangan dan sekaligus merealisasikan cita-cita mulia meriwayatkan hadis.
Meskipun berpostur tubuh kecil namun Asy Sya’bi diberi anugerah kekuatan hafalan yang sangat kokoh. Sampai-sampai disebutkan dalam satu riwayat bahwa beliau tidak pernah menulis sama sekali. Namun beliau bisa memahami dan menghafal ilmu yang disampaikan dengan sangat baik. Beliau pun mengatakan, “Aku tidak pernah menulis hitam di atas lembaran putih hingga saat ini dan tidaklah aku mendengar hadis melainkan aku mampu menghafalnya. Dan aku tidak suka jika ada seseorang yang mengulangi ucapannya.” Subhanallah, daya ingat yang sangat kuat dan inilah satu keajaiban ulama salaf yang sulit tertandingi oleh generasi-generasi setelahnya. Dengan segala kelebihan dan potensi yang ada, Asy Sya’bi menjadi seorang ulama besar saat itu.
SANJUNGAN PARA ULAMA
Salah satu indikasi yang menunjukkan persaksian ulama terhadap keilmuan Asy Sya’bi rahimahullah adalah semangat mereka untuk meriwayatkan hadis darinya. Oleh sebab itu Ibnu Sirin rahimahullah pernah menyatakan, “Aku pernah masuk ke Kota Kufah dalam kondisi Asy Sya’bi mempunyai kumpulan majelis yang sangat besar. Padahal sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu masih sangat banyak di tengah-tengah kita.”
Murid-murid Asy Sya’bi yang terkenal seperti Hammad bin Salamah, Abu Ishaq, Dawud bin Abi Hind, Ibnu ‘Aun, Ismail bin Abi Khalid, Ashim Al Ahwal, Makhul Asy Syami, Atha bin Saib, Mughirah bin Miqsam, Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah, Abdullah bin ‘Ayyasy, dan masih ada yang lainnya.
Secara lisan pun mengalir pujian dan kekaguman ulama-ulama terhadap beliau. Abu Bakr bin Ayyasy rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hushain, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih faqih daripada Asy Sya’bi.” Aku pun bertanya kepadanya, “Tidak pula Syuraih.” Beliau pun marah seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku belum pernah melihat Syuraih.”
Sulaiman At Taimi rahimahullah menyatakan, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih faqih daripada Asy Sya’bi kecuali Said bin Al Musayyib. Tidak pula Thawus, Atha’, Al Hasan, atau Ibnu Sirin. Sungguh aku telah melihat mereka semuanya.”
Beliau dikenal pula sebagai seorang ulama yang sangat gigih dalam membela sunnah. Pernah ada seorang lelaki dari sekte kaisaniyyah berkata di hadapan Asy Sya’bi. Kaisaniyyah adalah pengikut Kaisan maula Ali yang merupakan sebuah aliran Syiah yang sangat ekstrim dengan meyakini bahwa imam mereka mengetahui segala sesuatu. Laki-laki tersebut mengatakan di depan Asy Sya’bi, “Aisyah termasuk salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau benci.” Asy Sya’bi rahimahullahpun langsung menegurnya dengan menyatakan, “Kamu telah menyelisihi sunnah Nabimu.”
Diriwayatkan dari Abu Bakar Al Hudzali rahimahullah bahwa Ibnu Sirin mengatakan kepadanya, “Hendaknya engkau senantiasa mengambil ilmu dari Asy Sya’bi. Sungguh aku pernah melihat Asy Sya’bi dimintai fatwanya padahal sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih sangat banyak.” Pernah ada seseorang bertanya kepada Asy Sya’bi, “Darimana engkau bisa mendapatkan ilmu yang sangat melimpah ini?” Beliau pun menajwab, “Dengan menghilangkan kemalasan, melakukan perjalanan di berbagai negeri, kesabaran bagaikan kesabaran benda mati, dan berangkat di awal waktu sebagaimana berangkatnya seekor burung gagak.”
Ibnu Uyainah rahimahullah menyatakan, “Ulamanya manusia ada tiga, yaitu Ibnu Abbas di zamannya, Asy Sya’bi di zamannya, dan Ats Tsauri di zamannya.” Tak kurang seorang sahabat seperti Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu pun memberi pujian dan sanjungan yang selangit kepada Asy Sya’bi. Dikisahkan oleh Abdul Malik bin Umair bahwa beliau mengatakan, “Pernah suatu saat Ibnu Umar melewati Asy Sya’bi dalam kondisi beliau sedang membacakan kisah berbagai peperangan yang pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu mendengarnya maka Ibnu Umar berkomentar, “Seolah-olah orang ini ikut menyaksikan pertempuran tersebut bersama kami. Sungguh ia lebih hafal tentang sejarah-sejarah itu dan lebih berilmu daripada kami.”
Dawud bin Abi Hind rahimahullah mengatakan, “Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu daripada Asy Sya’bi.” Ashim bin Sulaiman menyatakan, “Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih mengetahui tentang hadis penduduk Kufah, Bashrah, Hijaz, dan berbagai penjuru negeri daripada Asy Sya’bi.”
Meskipun derajat keilmuan Asy Sya’bi telah mencapai level yang sangat tinggi sebagaimana persaksian para ulama di atas. Namun demikian Asy Sya’bi mempunyai kepribadian yang rendah hati. Ibnu Syihab rahimahullah menuturkan bahwa ucapan yang sering terlontar dari lisannya adalah; saya tidak tahu. Beliau tidak merasa malu untuk mengucapkan kata-kata tersebut tatkala ditanya tentang suatu permasalahan.
Tatkala fitnah Ibnu Al Asyats bergejolak di masa pemerintahan Hajjaj bin Yusuf, saat itu Asy Sya’bi termasuk yang terlibat di dalamnya. Beliau bersama dengan para ahli pembaca Al Quran dari Irak terlibat dalam gerakan pemberontakan terhadap Al Hajjaj. Mereka memandang kezaliman Al Hajjaj telah mencapai puncaknya hingga dia memaksakan agar menunda waktu salat dan menjamak salat ketika muqim. Persis seperti yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya, “Akan datang kepada kalian para pemimpin yang mematikan salat.”
Namun pada akhirnya Asy Sya’bi menyesali perbuatannya tersebut dan mengakui bahwa pemberontakan yang dilakukan Ibnu Al Asyats tidaklah benar. Tatkala dihadapkan kepada Al Hajjaj paska kekalahan telak pihak Ibnu Al Asyats, maka Asy Sya’bi berkata, “Sungguh aku merasa sangat sedih dan dicekam rasa takut yang sangat. Kami menyadari bahwa apa yang telah kami lakukan ini bukanlah perbuatan orang-orang yang baik lagi bertakwa. Namun bukan pula kami orang-orang yang jahat lagi kuat.” Setelah mendengar pengakuan tersebut maka Al Hajjaj membebaskan Asy Sya’bi dan membiarkannya pergi dalam kondisi aman. Asy Sya’bi meninggal dunia pada tahun 105 H dalam usia 77 tahun. Semoga Allah azza wajalla mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau serta memberikan balasan terbaik atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 47 vol.04 2017 rubrik Biografi & Ralat di rubrik Pembaca Menyapa Majalah Qudwah edisi 49 vol.05 2017. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.