Pemimpin Para Wanita Penghuni Surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikaruniai beberapa putra dan putri. Mereka adalah al-Qasim, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah, dan ‘Abdullah, yang lahir dari Ummul Mukminin Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Rasulullah juga dikaruniai seorang putra dari budak wanita beliau yang bernama Mariyah al-Qibthiyyah. Putra beliau tersebut diberi nama Ibrahim.
Mereka semua telah wafat sebelum wafatnya sang ayah, kecuali Fathimah. Namun, Fathimah pun menyusul sang ayahanda hanya enam bulan sepeninggal beliau.
Al-’Allamah Ibnul Qayyim, dalam Zadul Ma’ad (1/100), menegaskan bahwa Fathimah adalah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling banyak memiliki keutamaan.
Di antara keutamaannya adalah menjadi pemimpin para wanita penduduk surga, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. al-Bukhari “Bab Manaqib Qarabati Rasulillah”, lihat Fathul Bari 8/673)
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan keutamaan Fathimah, “Para istri Rasulullah sedang berkumpul di sisi beliau, tidak ada satu pun yang tertinggal. Tidak lama kemudian datanglah Fathimah, putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berjalan persis seperti cara jalan ayahnya. Sang ayahanda pun menyambutnya sembari menyapa, ‘Marhaban (selamat datang dengan penuh kebahagiaan), wahai Putriku!’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempersilakan Fathimah untuk duduk di sebelah kanan atau kiri beliau, lantas membisikkan sebuah rahasia ke telinga Fathimah. Seketika itu pula Fathimah menangis dengan tangis yang sangat memilukan. Ketika Rasulullah melihat kesedihan Fathimah, beliau kembali berbisik. Serta-merta Fathimah tertawa penuh kebahagiaan.
Tanpa bisa ditahan lagi, aku langsung bertanya kepada Fathimah, ‘Rasulullah mengkhususkanmu dengan sebuah rahasia (yang tidak diketahui oleh) istri-istri beliau, kemudian kamu menangis. Apa yang menyebabkanmu menangis?’
Fathimah tidak menjawab sepatah kata pun.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah beranjak dari tempat tersebut, aku kembali mengulangi pertanyaanku kepada Fathimah, ‘Apa yang dikatakan Rasulullah kepadamu?’
‘Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,’ sahut Fathimah.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, aku tidak menyerah, tetap ingin mengetahui rahasia yang dibisikkan oleh Rasulullah kepada putri beliau ini. Aku pun bertanya kepada Fathimah, ‘Aku benar-benar bertanya kepadamu dan kamu benar-benar harus menceritakannya kepadaku. Apakah yang dahulu dikatakan oleh Rasulullah kepadamu?’
Fathimah mulai bercerita, ‘Adapun sekarang (setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ya, tidak mengapa (akan kuceritakan). Pada bisikan pertama, Rasulullah mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasa membacakan (memurajaah) al-Qur’an kepada beliau satu kali setiap tahun; namun, pada tahun ini, Jibril membacakannya dua kali. Oleh karena itu, beliau bersabda, ‘Aku memiliki sangkaan besar bahwa ajalku telah dekat, maka bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya kamu adalah keluargaku yang pertama kali (wafat) menyusulku, dan sebaik-baik orang yang mendahuluimu adalah aku.’ Mendengar hal itu, aku pun menangis. Tatkala melihat kesedihanku, beliau pun berbisik lagi kepadaku, ‘Wahai Fathimah, tidakkah engkau bahagia kalau menjadi pemimpin para wanita kaum mukminin atau pemimpin para wanita umat ini?’ Aku pun tertawa karenanya.” (HR. al-Bukhari no. 6313 dan 6314)
Berdasarkan keutamaan yang sangat agung ini, al-Hafizh Ibnu Hajar merajihkan (menguatkan) bahwa Fathimah radhiyallahu ‘anha lebih utama daripada ibunya, yaitu Ummul Mukminin Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Sebab, dalam hadits di atas, Rasulullah menyebut Fathimah sebagai pemimpin para wanita kaum mukminin atau pemimpin kaum wanita umat ini, tanpa mengecualikan seorang wanita pun. (Fathul Bari, pada syarah hadits no 3820)
Ukhti fillah, semoga Allah senantiasa menjaga Anda. Hadits ‘Aisyah di atas juga diriwayatkan dengan redaksi yang sedikit berbeda. Pada bisikan pertama, Rasulullah mengabarkan kematian beliau, sedangkan pada bisikan kedua, beliau mengabarkan bahwa Fathimah adalah orang pertama di antara keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang (wafat) menyusul beliau. (HR. al-Bukhari no. 6312)
Keutamaan lain Fathimah disebutkan dalam hadits dari al-Miswar bin Makhramah radhiyallahu ‘anhu. Dia bercerita, “Saya mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar, berkhotbah di hadapan manusia. Pada saat itu saya sudah balig. Rasulullah berkhotbah, ‘Sesungguhnya Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan salah seorang putri mereka dengan ‘Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak memberi izin kepada mereka, kemudian aku tidak memberi izin kepada mereka, kemudian aku tidak memberi izin kepada mereka, kecuali jika ‘Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku (Fathimah). Ketika itulah ia boleh menikahi putri mereka. Sesungguhnya putriku adalah darah dagingku, membuatku khawatir segala sesuatu yang membuatnya khawatir, dan menyakitkan hatiku segala sesuatu yang menyakitkan hatinya’.”
Dalam riwayat lain terdapat tambahan, “Sesungguhnya aku khawatir ia akan mendapat fitnah (ujian) dalam agamanya.”
Al-Miswar bin al-Makhramah berkata lagi, “Kemudian, Rasulullah menyebut salah seorang menantu beliau dari Bani ‘Abdi Syams (yaitu Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, suami Zainab bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau memujinya dalam hal hubungan kekerabatannya dengan beliau, karena pernikahannya dengan Zainab. Selanjutnya, beliau bersabda, ‘Aku tidak mengharamkan perkara halal dan tidak menghalalkan perkara haram. Namun, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh Allah pada satu pria (suami) selama-lamanya.’ Akhirnya, ‘Ali tidak jadi meminang (anak perempuan Abu Jahl).” (HR. Muslim no. 2449, lihat syarah an-Nawawi rahimahullah)
Ketika menjelaskan maksud hadits di atas, al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah berkata bahwa hadits ini menunjukkan haramnya menyakiti Rasulullah dalam keadaan apa pun dan dengan cara bagaimanapun, meski perbuatan yang dapat menyakiti hati Rasulullah itu hukumnya mubah (boleh) ketika beliau masih hidup.
Para ulama juga mengatakan, Rasulullah sudah menjelaskan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib boleh menikahi putri Abu Jahl, yaitu dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku tidak mengharamkan perkara halal.’ Namun, beliau melarang dikumpulkannya dua wanita tersebut dengan dua alasan:
- Hal itu dapat menyakiti hati Fathimah sehingga Rasulullah juga akan merasa tersakiti. Sementara itu, setiap orang yang menyakiti Rasulullah akan binasa. Oleh karena itu, Rasulullah melarang ‘Ali bin Abi Thalib menikahi anak perempuan Abu Jahl karena sempurnanya kasih sayang beliau kepada ‘Ali dan Fathimah.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir akan terjadi fitnah atas Fathimah disebabkan rasa cemburu.”[1]
Pembaca Qonitah, semoga Allah memuliakan Anda. Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahli bait (keluarga/kerabat Rasulullah), tidak menyakiti, dan tidak mencela mereka. Diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang berkata,
ارۡقُبُوا مُحَمَّدًا ﷺ فِي أَهۡلِ بَيۡتِهِ
“Perhatikanlah dan jagalah (kepentingan) Rasulullah yang berkaitan dengan ahli bait beliau.” (HR. al-Bukhari no. 3713)
Makna hadits di atas, jagalah (kehormatan) ahli bait, jangan menyakiti dan mencela mereka.
Siapakah ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari “Bab Manaqib Qarabati Rasulillah” (Keistimewaan Kerabat Rasulullah), mengatakan, “Yang dimaksud dengan ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang dinasabkan kepada kakek Nabi yang terdekat, yaitu ‘Abdul Muththalib, baik laki-laki maupun perempuan, dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum atau orang yang pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah:
- ‘Ali bin Abi Thalib dan putra-putri beliau (termasuk yang dari selain Fathimah).
- Al-Hasan, al-Husain, Muhsin, dan Ummu Kultsum (putra-putri ‘Ali bin Abi Thalib dari Fathimah radhiyallahu ‘anha).
- Ja’far bin Abi Thalib dan putra-putra beliau, yaitu ‘Abdullah, ‘Aun, dan Muhammad. Ada yang mengatakan bahwa Ja’far bin Abi Thalib juga mempunyai putra yang bernama Ahmad.
- ‘Aqil bin Abi Thalib dan putra beliau yang bernama Muslim bin ‘Aqil.
- Hamzah bin ‘Abdil Muththalib dan putra-putra beliau yang bernama Ya’la, ‘Umarah, dan Umamah.
- Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib dan putra-putra beliau yang berjumlah sepuluh orang, yaitu al-Fadhl, ‘Abdullah, Qutsam, ‘Ubaidullah, al-Harits, Ma’bad, ‘Abdurrahman, Katsir, ‘Aun, dan Tammam.
- Al-’Abbas juga memiliki beberapa putri, yaitu Ummu Habib, Aminah, dan Shafiyyah. Kebanyakan putra-putri al-’Abbas adalah dari istri beliau yang bernama Lubabah Ummul Fadhl.
- Mu’attib bin Abi Lahab.
- Al-’Abbas bin ‘Utbah bin Abi Lahab, suami Aminah bintu al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib.
- ‘Abdullah bin az-Zubair bin ‘Abdil Muththalib dan saudara perempuannya yang bernama Dhuba’ah, istri al-Miqdad bin al-Aswad.
- Abu Sufyan bin al-Harits bin ‘Abdil Muththalib dan putra beliau yang bernama Ja’far.
- Naufal bin al-Harits bin ‘Abdil Muththalib dan kedua putranya, yaitu al-Mughirah dan al-Harits.
- Umaimah, Arwa, ‘Atikah, dan Shafiyyah--mereka putri ‘Abdul Muththalib.”
(Lihat Fathul Bari 8/674, pada syarah hadits no. 3716)
Faedah
Sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berdiri di atas prinsip al-inshaf dan al-i’tidal (pertengahan, tidak berat sebelah). Maksudnya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah memberikan wala’ (cinta dan kesetiaan) kepada ahli bait yang istiqamah dalam menjalankan agama Islam, dan berlepas diri dari siapa saja yang menyelisihi as-Sunnah dan menyimpang dari agama Islam meskipun ia termasuk ahli bait. Sebab, statusnya sebagai ahli bait dan hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermanfaat sedikit pun, kecuali jika ia istiqamah di atas jalan Allah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Setelah Allah menurunkan Surat asy-Syu’ara ayat ke-214,
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ ٱلْأَقْرَبِينَ ٢١٤
‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.’
Rasulullah berdiri dan berseru, ‘Wahai sekalian Quraisy (atau kalimat yang semisal itu)! Belilah (selamatkan) jiwa-jiwa kalian! Aku tidak dapat melindungi kalian dari (azab) Allah sedikit pun! Wahai Bani ‘Abdi Manaf, aku tidak dapat melindungi kalian dari (azab) Allah sedikit pun! Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah, aku tidak dapat melindungimu dari (azab) Allah sedikit pun! Wahai Fathimah bintu Muhammad, mintalah dari hartaku yang kamu ingini! Aku tidak dapat melindungimu dari (azab) Allah sedikit pun!’.” (HR. al-Bukhari no. 4771 dan Muslim no. 204)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berlepas diri dari orang-orang yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap sebagian ahlul bait dan menganggap mereka terbebas dari dosa. Mereka juga berlepas diri dari orang-orang yang menancapkan permusuhan kepada ahli bait yang berkomitmen terhadap Islam. Mereka juga berlepas diri dari jalan ahli bid’ah dan khurafat, yang bertawassul[2] dengan (jasad) ahli bait dan menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah. (Dinukil dari Ushul al-Iman fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah 1/329)
Wallahu ta’ala a’lam.
---
Sebagian sisi kemuliaan sosok Fathimah bintu Rasulillah telah kita ketahui pada edisi lalu. Kali ini, kita masih membahas figur mulia ini, yang menjadi pemimpin wanita penduduk surga. Duhai, betapa agungnya keistimewaan yang ia raih.
Anda tentu bertanya-tanya dan ingin mengetahui lebih banyak tentang beliau. Nah, mari kita teropong lebih jauh jati diri tokoh kita ini. Yuk, kita simak.
Berwibawa Semenjak Kecil
Dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dikisahkan bahwa dahulu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tinggal di Makkah, beliau melakukan shalat di sisi Baitullah (Ka’bah). Tidak jauh dari tempat itu, Abu Jahl dan kawan-kawannya sedang duduk-duduk bergerombol. Mereka, yang berjumlah tujuh orang itu, saling berbisik guna melancarkan makar jahat.
“Siapakah di antara kalian yang bisa mengambil kotoran anak unta, darah, beserta kulit janinnya, lalu meletakkannya di atas punggung Muhammad ketika ia sujud?” tanya salah seorang di antara mereka.
Berangkatlah ‘Uqbah bin Abu Mu’aith, orang yang paling celaka dari segerombolan kafir Quraisy tersebut. Ia pun mengambil kotoran anak unta, darah, dan kulit janinnya. Ia menanti sebentar. Sampai ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergerak turun dan sujud, ia segera meletakkan benda-benda tersebut di atas punggung Nabi Muhammad, di antara kedua pundak beliau.
Sahabat mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud yang meriwayatkan hadits ini bergumam, “Aku hanya bisa melihat, tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah ulah buruk mereka. Duhai, andai aku mempunyai kekuatan (kemampuan untuk melawan), niscaya kubuang kotoran unta itu dari (pundak) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Seketika itu, tujuh gembong musyrikin Quraisy itu tertawa terbahak-bahak dengan pongahnya sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan sujud beliau dan tidak mengangkat kepala sama sekali. Sampai akhirnya, datanglah Fathimah kecil sambil berlari. Segera dibuangnya kotoran unta itu dari punggung sang ayah. Fathimah kecil yang pemberani dan berwibawa ini mendatangi ketujuh gembong Quraisy itu sambil mencaci maki mereka. Ketujuh orang itu tidak berani membantahnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menengadahkan kepala beliau seraya berdoa,
اللّٰهُمَّ عَلَيۡكَ بِقُرَيۡشٍ
“Ya Allah, binasakanlah orang-orang kafir Quraisy itu.”
Beliau memanjatkan doa tersebut, mengulang-ulanginya sebanyak tiga kali.
Ketika mendengar suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebinasaan atas mereka, seketika itu pula mereka menghentikan tawa. Mereka takut akan akibat buruk doa beliau. Orang-orang Quraisy berkeyakinan bahwa doa di negeri Makkah terkabulkan.
Rasulullah menyebut nama mereka satu per satu, “Ya Allah, binasakanlah Abu Jahl, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin ‘Utbah, Umayyah bin Khalaf, dan ‘Uqbah bin Abu Mu’aith.” Beliau[3] menyebut orang ketujuh, tetapi kami[4] tidak hafal (siapa dia).
Setelah membawakan hadits di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, dalam Fathul Bari, menarik beberapa faedah ilmu darinya. Di antara faedah tersebut, hadits di atas menunjukkan kuatnya jiwa Fathimah az-Zahra’ dan ketabahan hatinya semenjak dia masih berusia belia. Hadits di atas juga menggambarkan kepada kita bahwa Fathimah berkedudukan mulia, berkepribadian pemberani, dan berwibawa di tengah kaumnya.
Bayangkan, Fathimah kecil itu dengan tegas dan lantangnya mencaci maki gembong-gembong musyrikin Quraisy itu, tetapi mereka tidak berani mengadakan serangan balik sedikit pun. (Fathul Bari, syarah hadits no. 240)
Paling Memiliki Tempat di Hati Ayahanda
Pembaca, mungkin Anda pernah mendengar sebuah hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anha bahwa orang-orang Quraisy digemparkan oleh suatu kejadian yang menimpa seorang wanita al-Makhzumiyyah (dari kabilah Bani Makhzum, salah satu kabilah mulia, kabilah para bangsawan). Wanita itu telah mencuri yang mengharuskan tangannya dipotong.
Karena wanita itu dipandang terhormat dan berkedudukan di tengah masyarakat Quraisy pada saat itu, serta-merta mereka ingin melindunginya dari hukuman had berupa potong tangan, yang sudah berlaku di tengah masyarakat itu sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka berkata, “Siapakah yang sanggup mengangkat permasalahan ini kepada Rasulullah, untuk melindungi wanita dari Bani Makhzum ini dari hukuman had potong tangan?”
Mereka beranggapan bahwa tidak ada yang berani mengusulkannya kepada Rasulullah selain Usamah bin Zaid bin Haritsah, kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usamah pun mencoba melakukannya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar syafaat (permohonan bantuan) yang diajukan oleh Usamah, Rasulullah marah seraya berseru, “Apakah engkau hendak memintakan keringanan salah satu hukum had Allah untuk orang lain?”
Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di tengah para sahabat dan berkhotbah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah tersesat orang-orang sebelum kalian. Apabila ada orang terhormat melakukan perbuatan mencuri (termasuk korupsi dan sejenisnya, -pent.), mereka membiarkannya (tidak menegakkan hukum had atasnya). Namun, apabila yang mencuri adalah orang yang (dianggap) lemah/rendahan di antara mereka, mereka menegakkan hukum had atasnya. Sungguh, demi Allah, seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, pasti aku (Nabi Muhammad, sebagai waliyyul amri/pemerintah, -pent.) akan memotong tangannya.”
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar wanita yang telah mencuri itu dibawa ke hadapan beliau, lalu dipotonglah tangannya. (HR. al-Bukhari no. 6788)
Pembaca yang dimuliakan Allah subhanahu wa taala, mari kita renungkan khotbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas!
Khotbah tersebut menegaskan bahwa setiap perbuatan jahat (jinayah) yang mengakibatkan pelakunya dijatuhi hukuman had dalam syariat Islam, apabila perkaranya telah sampai ke hadapan pemerintah (wulatul umur), hukuman had tersebut harus tetap ditegakkan atas setiap mukallaf, siapa pun dia, baik orang rendahan maupun orang elite sekalipun, tanpa ada rasa pekewuh (bhs. Jawa; sungkan, -ed.)!
Dalam khotbah di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan secara khusus putri tersayang beliau, yaitu Fathimah radhiyallahu ‘anha. Hal ini sebagai perumpamaan untuk memberikan kesan mubalaghah (penekanan) bahwa hukum had tetap harus ditegakkan atas setiap mukallaf, siapa pun dia, sekalipun pelakunya adalah Fathimah bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa Fathimah adalah orang yang terkasih dan tersayang dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara sekian keluarga beliau yang masih hidup. Karena itulah Fathimah dijadikan sebagai perumpamaan dalam hadits di atas.
Namun, Allah subhanahu wa taala telah menjaga Fathimah dari melakukan perbuatan jahat yang membawa kepada hukum had. (Disadur dari Fathul Bari, syarah hadits no. 6788 hlm. 357-358)
Berhias dengan Akhlak yang Terpuji
Figur kita ini merupakan sosok wanita yang sangat penyabar dan dihiasi dengan sifat qana’ah, yang sudah pasti kedua sifat ini sangat dibutuhkan oleh kaum Hawa.
Kabar gembira bagi Anda, ibu rumah tangga, yang dalam keseharian tersibukkan oleh amalan-amalan besar:
- Mengurus rumah, merapikannya, dan selalu menjaga kebersihannya.
- Mendidik dan mengajar anak-anaknya.
- Membantu dan melayani kebutuhan suami.
Jika amalan-amalan ini dilakukan dengan tulus ikhlas hanya mencari ridha Allah, surgalah pahalanya.
Lalu, apa kesibukan sehari-hari seorang wanita yang telah diangkat--melalui wahyu--sebagai pemimpin para wanita penghuni surga ini? Ternyata, beliau adalah wanita yang sibuk dengan kewajiban-kewajiban rumah tangganya, sampai-sampai kedua telapak tangan beliau menebal (kapalan) karena membuat adonan-adonan khubz (sejenis roti), makanan pokok bangsa Arab.
Dalam sebuah hadits, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, suami Fathimah radhiyallahu ‘anha, mengisahkan, “Pada suatu hari, Fathimah mengadukan rasa sakit, akibat bekas kapal (kulit yang menebal) yang tergores, di telapak tangannya.”
Karena kasihan, ‘Ali berkata, “Sungguh, Allah subhanahu wa taala telah memberikan beberapa tawanan perang kepada ayahmu (Rasulullah). Temuilah beliau, lalu mintalah seorang budak wanita!” Demikian saran sang suami.
Fathimah sendiri telah mendengar kabar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperoleh beberapa tawanan perang (budak-budak). Beliau pun datang menemui sang ayahanda untuk meminta seorang budak wanita yang akan membantu pekerjaan-pekerjaan beliau. Namun, sayang sekali, Fathimah tidak mendapati sang ayahanda, sehingga beliau hanya menceritakan keperluannya itu kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Setelah Rasulullah pulang, Aisyah pun menceritakan kedatangan Fathimah dan keinginannya untuk meminta seorang budak wanita yang bisa membantu pekerjaan-pekerjaannya.
‘Ali bin Abi Thalib melanjutkan kisahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami ketika kami sedang berada di pembaringan. Aku pun beranjak bangun, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku. Beliau bersabda, ‘Tetaplah di tempatmu.’ Beliau kemudian duduk di antara kami (di antara ‘Ali dan Fathimah, -pent.) sampai-sampai aku merasakan dinginnya/sejuknya kedua telapak kaki beliau di dadaku[5].
Rasulullah bersabda kembali, ‘Maukah kalian berdua kuberi tahu sesuatu yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Apabila kalian sudah berada di pembaringan (hendak tidur), bacalah takbir (اللهُ أَكۡبَرُ) sebanyak 33 kali, tasbih (سُبۡحَانَ اللهِ) sebanyak 33 kali, dan tahmid (الۡحَمۡدُ لِلّٰهِ) sebanyak 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu’.” (HR. al-Bukhari no. 6318)
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui ‘Ali dan Fathimah, ‘Ali mengadu kepada beliau, “Wahai Rasulullah, demi Allah, sungguh, saya telah memikul air sampai punggung saya terasa sakit.” Fathimah juga mengeluh, “Sungguh, saya senantiasa menggiling adonan sampai kedua tangan saya kapalan. Sungguh, Allah telah mendatangkan kepada Anda tawanan-tawanan perang dan keluasan rezeki, maka berilah kami seseorang yang bisa membantu kami.”
Namun, Rasulullah menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan budak kepada kalian dan membiarkan ahlush shuffah[6] kelaparan karena tidak mendapatkan sesuatu yang dapat kugunakan untuk menafkahi mereka. Namun, akan kujual budak-budak itu dan akan kugunakan hasil penjualannya untuk menafkahi mereka.” (HR. al-Bukhari, Bab “Fardhul Khumus”)
Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari pada akhir syarah di atas, mengatakan, “Hadits di atas memperlihatkan dengan jelas keistimewaan ‘Ali bin Abi Thalib dan Fathimah. Dari hadits di atas kita juga mengerti betapa pengasih dan penyayangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putri dan menantu beliau, yang semestinya kita mengambil teladan dari sikap beliau ini.” (Fathul Bari, syarah hadits no. 6318)
Pembaca Qonitah, rahimakumullah…
Hadits di atas menggambarkan kepada kita kesabaran Fathimah--putri Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus pemimpin kaum wanita penduduk surga--dalam menjalani tugas sebagai ibu rumah tangga; keprihatinan hidup bersama sang suami, dan sikap menerima (qana’ah) beliau. Sungguh, semua sifat ini sangat dibutuhkan oleh setiap wanita agar dapat hidup bahagia dalam setiap kondisi, baik sempit maupun lapang.
Masih banyak lagi sifat mulia yang menghiasi sosok Fathimah radhiyallahu ‘anha bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melimpahkan kepada kita taufik-Nya untuk mengikuti jejaknya radhiyallahu ‘anha.
Sumber: Majalah Qonitah edisi 10 & 11 / vol. 01 / 1435H - 2014M rubrik Figur Mulia. Pemateri: Al-Ustadzah Hikmah.
[1] Lihat syarah an-Nawawi terhadap Shahih Muslim no. 2449.
[2] Menjadikan mereka sebagai wasilah (perantara) antara mereka dan Allah azza wajalla dalam berdoa kepada-Nya, sehingga--menurut mereka--akan lebih mendekatkan diri mereka dengan-Nya dan doa mereka lebih terkabul.
[3] Yang dimaksud dengan “beliau” di sini adalah perawi hadits di atas yang bernama ‘Amr bin Maimun.
[4] Yang dimaksud dengan “kami” di sini adalah Abu Ishaq as-Sabi’i, yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Amr bin Maimun. (Fathul Bari, syarah/penjelasan hadits no. 240)
[5] Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa waktu itu musim dingin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di antara Ali dan Fathimah yang sedang berbaring sehingga sampai dinginnya kaki beliau dirasakan oleh dada Ali radhiyallahu ‘anhu, -red.
[6] Ahlush shuffah adalah fakir miskin dari kalangan sahabat, yang tinggal di bagian belakang masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.