Cari Blog Ini

Ad-Dararil Mudhiyyah - Hukum Menikah dan Kriteria Calon Istri

كِتَابُ النِّكَاحِ

يُشۡرَعُ لِمَنِ اسۡتَطَاعَ الۡبَاءَةَ، وَبَجِبُ عَلَىٰ مَنۡ خَشِيَ الۡوُقُوعَ فِي الۡمَعۡصِيَةِ، وَالتَّبَتُّلُ غَيۡرُ جَائِزٍ إِلَّا لِعَجۡزٍ عَنِ الۡقِيَامِ بِمَا لَا بُدَّ مِنۡهُ، وَيَنۡبَغِي أَنۡ تَكُونَ الۡمَرۡأَةُ وَدُودًا، وَلُودًا، بِكۡرًا، ذَاتَ جَمَالٍ وَحَسَبٍ وَدِينٍ، وَمَالٍ. 
Nikah disyariatkan bagi siapa saja yang mampu menikah bahkan wajib bagi siapa saja yang dikhawatirkan terjatuh ke dalam maksiat. Hidup membujang tidak boleh kecuali bagi yang tidak mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban. Seyogyanya wanita (yang dinikahi) adalah wanita yang penyayang, subur, perawan, cantik, memiliki nasab yang baik, memiliki agama yang baik, dan memiliki harta.
أَقُولُ: أَمَّا مَشۡرُوعِيَّتِهِ لِمَنِ اسۡتَطَاعَ الۡبَاءَةَ، فَلَمَّا وَرَدَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ مَسۡعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (يَا مَعۡشَرَ الشَّبَابِ: مَنِ اسۡتَطَاعَ مِنۡكُمُ الۡبَاءَةَ فَلۡيَتَزَوَّجۡ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلۡبَصَرِ، وَأَحۡصَنُ لِلۡفَرۡجِ، وَمَنَ لَمۡ يَسۡتَطِعۡ، فَعَلَيۡهِ بِالصَّوۡمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ). وَالۡمُرَادُ بِالۡبَاءَةِ النِّكَاحُ. وَالۡأَحَادِيثُ الۡوَارِدَةُ فِي التَّرۡغِيبِ فِي النِّكَاحِ كَثِيرَةٌ.
Adapun disyariatkannya menikah bagi siapa saja yang mampu ba`ah, adalah berdasarkan hadis yang terdapat di dua kitab Shahih[1] dan selain keduanya dari hadis Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang mampu ba`ah, maka hendaknya ia menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan siapa saja yang tidak mampu, maka hendaknya ia puasa, karena puasa dapat memutus syahwat.” Dan yang dimaukan dengan ba`ah adalah menikah. Dan hadis-hadis yang ada tentang anjuran menikah ada banyak.
وَأَمَّا وُجُوبُهُ عَلَى مَنۡ خَشِيَ الۡوُقُوعَ فِي الۡمَعۡصِيَةِ، فَلِأَنَّ اجۡتِنَابَ الۡحَرَامِ وَاجِبٌ، وَإِذَا لَمۡ يَتِمَّ الۡإِجۡتِنَابُ إِلَّا بِالنِّكَاحِ كَانَ وَاجِبًا، وَعَلَى ذٰلِكَ تُحۡمَلُ الۡأَحَادِيثُ الۡمُقۡتَضِيَةُ لِوُجُوبِ النِّكَاحِ كَحَدِيثِ أَنَسٍ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا؛ أَنَّ نَفَرًا مِنۡ أَصۡحَابِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ بَعۡضُهُمۡ: لَا أَتَزَوَّجُ، وَقَالَ بَعۡضُهُمۡ: أُصَلِّى وَلَا أَنَامُ، وَقَالَ بَعۡضُهُمۡ: أَصُومُ وَلَا أُفۡطِرُ، فَبَلَغَ ذٰلِكَ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ: (مَا بَالُ أَقۡوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا، لٰكِنِّي أَصُومُ وَأُفۡطِرُ وَأُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنۡ رَغِبَ عَنۡ سُنَّتِي فَلَيۡسَ مِنِّي)، وَأَخۡرَجَ ابۡنُ مَاجَهۡ وَالتِّرۡمِذِيُّ مِنۡ حَدِيثِ الۡحَسَنِ، عَنۡ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ (نَهَى عَنِ التَّبَتُّلِ). قَالَ التِّرۡمِذِيُّ: إِنَّهُ حَسَنٌ غَرِيبٌ. قَالَ: وَرَوَى الۡأَشۡعَثُ بۡنُ عَبۡدِ الۡمَلِكِ هٰذَا الۡحَدِيثَ عَنِ الۡحَسَنِ، عَنۡ سَعۡدِ بۡنِ هِشَامٍ، عَنۡ عَائِشَةَ وَيُقَالُ كِلَا الۡحَدِيثَيۡنِ صَحِيحٌ انۡتَهَى. وَفِي سِمَاعِ الۡحَسَنِ عَنۡ سَمُرَةَ مَقَالٌ مَعۡرُوفٌ. وَأَخۡرَجَ النَّهۡيَ عَنِ التَّبَتُّلِ أَحۡمَدُ وَابۡنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ مِنۡ حَدِيثِ أَنَسٍ. وَأَخۡرَجَ ابۡنُ مَاجَةۡ مِنۡ حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (النِّكَاحُ مِنۡ سُنَّتِي، فَمَنۡ لَمۡ يَعۡمَلۡ بِسُنَّتِي فَلَيۡسَ مِنِّي).
Adapun kewajiban menikah bagi siapa saja yang khawatir jatuh ke dalam maksiat karena menjauhi perkara yang haram adalah wajib. Sehingga ketika tidak bisa terwujud perbuatan menjauhi keharaman tersebut kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib. Dan hadis-hadis yang menetapkan kewajiban menikah dibawa ke makna itu, seperti hadis Anas di dalam dua kitab Shahih[2] dan selain keduanya; Bahwa ada beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian mereka berkata: Aku tidak akan menikah. Sebagian yang lain berkata: Aku akan selalu salat dan tidak akan tidur malam. Dan sebagian lainnya berkata: Aku akan terus berpuasa dan tidak pernah tidak berpuasa. Ucapan itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Kenapa ada orang-orang yang berkata begini dan begitu? Padahal aku puasa dan juga tidak berpuasa, aku salat dan aku juga tidur malam, dan aku menikahi para wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, ia bukan golonganku.”
Ibnu Majah dan At-Tirmidzi mengeluarkan riwayat[3] dari hadis Al-Hasan dari Samurah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari hidup membujang. At-Tirmidzi berkata: Hadis ini hasan garib. Beliau berkata: Al-Asy’ats bin ‘Abdul Malik meriwayatkan pula hadis ini dari Al-Hasan, dari Sa’d bin Hisyam, dari ‘Aisyah. Dan ada yang berkata: Masing-masing kedua hadis ini adalah sahih. Selesai ucapan At-Tirmidzi. Dalam masalah apakah Al-Hasan mendengar dari Samurah ada perbincangan yang sudah banyak diketahui.
Ahmad dan Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya juga mengeluarkan riwayat larangan dari hidup membujang dari hadis Anas.
Ibnu Majah mengeluarkan riwayat[4] dari hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nikah termasuk sunahku. Sehingga, siapa saja yang tidak mengamalkan sunahku, ia bukan dari golonganku.”
وَأَمَّا عَدَمُ جَوَازِ التَّبَتُّلِ، فَلِمَا تَقَدَّمَ. وَأَمَّا جَوَازُهُ مَعَ الۡعَجۡزِ عَنِ الۡقِيَامِ بِمَا لَا بُدَّ مِنۡهُ، فَلِمَا ثَبَتَ فِي الۡكِتَابِ الۡعَزِيزِ مِنَ النَّهۡيِ عَنۡ مُضَارَّةِ النِّسَاءِ، وَالۡأَمۡرِ بِمُعَاشَرَتِهِنَّ بِالۡمَعۡرُوفِ، فَمَنۡ لَا يَسۡتَطِيعُ ذٰلِكَ لَمۡ يَجُزۡ لَهُ أَنۡ يَدۡخُلَ فِي أَمۡرٍ يُوقِعُهُ فِي حَرَامٍ، وَعَلَى ذٰلِكَ تُحۡمَلُ الۡأَدِلَّةُ الۡوَارِدَةُ فِي الۡعُزۡبَةِ وَالۡعُزۡلَةِ.
Adapun tidak bolehnya hidup membujang, maka berdasar pembahasan sebelumnya. Adapun bolehnya hidup membujang disertai dengan ketidakmampuan melakukan kewajiban yang mesti dilakukan, maka berdasarkan larangan yang telah pasti ada di dalam Alquran dari melakukan kemudaratan terhadap para wanita dan perintah untuk menggauli mereka dengan cara yang baik. Sehingga, siapa saja yang tidak mampu mewujudkan hal tersebut, maka tidak boleh baginya untuk masuk ke dalam suatu perkara yang akan menjatuhkannya ke dalam sesuatu yang haram.
Dan dalil-dalil yang ada tentang hidup membujang dan hidup mengasingkan diri dibawa ke makna tersebut.
وَأَمَّا كَوۡنُهُ يَنۡبَغِي أَنۡ تَكُونَ الۡمَرۡأَةُ وَدُودًا، وَلُودًا، وَبِكۡرًا ذَاتَ جَمَالٍ وَحَسَبٍ وَدِينٍ وَمَالٍ، فَلِحَدِيثِ أَنَسٍ عِنۡدَ أَحۡمَدَ، وَابۡنِ حِبَّان وَصَحَّحَهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (تَزَوَّجُوا الۡوَدُودَ الۡوَلُودَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الۡأَنۡبِيَاءَ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ)، وَأَخۡرَجَ نَحۡوَهُ أَحۡمَدُ مِنۡ حَدِيثِ ابۡنِ عَمۡرُو، وَفِي إِسۡنَادِهِ جَرِيرُ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ الۡعَامِرِي، وَقَدۡ وُثِّقَ وَفِيهِ ضَعۡفٌ. وَأَخۡرَجَ نَحۡوَهُ أَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ، وَابۡنُ حِبَّانَ مِنۡ حَدِيثِ مَعۡقِلِ بۡنِ يَسَارٍ، وَفِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ حَدِيثِ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لَهُ: (تَزَوَّجۡتَ بِكۡرًا أَمۡ ثَيِّبًا؟ قَالَ: ثَيِّبًا، قَالَ: فَهَلَّا تَزَوَّجۡتَ بِكۡرًا تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ)؟ وَفِي الصَّحِيحَيۡنِ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (تُنۡكَحُ الۡمَرۡأَةُ لِأَرۡبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظۡفَرۡ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتۡ يَدَاكَ). وَفِي صَحِيحِ مُسۡلِمٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَغَيۡرِهِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (إِنَّ الۡمَرۡأَةَ تُنۡكَحُ عَلَى دِينِهَا، وَمَالِهَا، وَجَمَالِهَا، فَعَلَيۡكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتۡ يَدَاكَ).
Adapun perihal sebaiknya wanita (yang dinikahi) bersifat penyayang, subur, perawan, memiliki paras cantik, nasab yang baik, agama yang bagus, dan harta, maka berdasar hadis Anas riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban, dan beliau nyatakan sahih; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hari kiamat di hadapan para nabi.” Ahmad juga mengeluarkan riwayat semisal itu dari hadis Ibnu ‘Amr, di dalam sanadnya ada Jarir bin ‘Abdullah Al-‘Amiri. Beliau dinyatakan tepercaya namun ada kelemahan padanya. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan Ibnu Hibban juga mengeluarkan riwayat[5] semacam itu dari hadis Ma’qil bin Yasar.
Di dalam dua kitab Shahih[6] dan selain keduanya dari hadis Jabir, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau menikah dengan perawan atau janda?” Jabir menjawab, “Janda.” Nabi bersabda, “Mengapa engkau tidak menikahi perawan sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan dia bisa bermain-main denganmu?”
Di dalam dua kitab Shahih[7] dari hadis Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang baik agamanya, kalau tidak, kedua tanganmu akan celaka.” Di dalam Shahih Muslim rahimahullahu ta’ala[8] dan selain beliau, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya wanita dinikahi karena agama, harta, dan kecantikannya. Maka, pilihlah wanita yang baik agamanya, karena kalau tidak, kedua tanganmu akan celaka.”

[5] HR. Abu Dawud nomor 2050, An-Nasa`i (6/65), dan Ibnu Hibban (6/143). 

Simak audio kajian Al-Ustadz Qomar hafizhahullah mengenai Bimbingan Pernikahan.