Cari Blog Ini

Ummul Mukminin Penjaga Al Quran

Menjadi seorang istri shalihah adalah dambaan dan keinginan setiap wanita yang beriman. Terlebih, begitu banyak dalil baik dari Kitabullah Al Quran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan pahala dari Allah subhanahu wa taala serta kebaikan dunia dan akhirat ketika seorang wanita dapat mencapai kedudukan tersebut. Akan tetapi hal tersebut bukanlah perkara yang mudah sebagaimana membalikkan telapak tangan.

Manusia secara keumuman adalah makhluk yang banyak sekali melakukan kesalahan. Maka sebagai manusia, kaum wanita pun tidak terlepas dari sifat tersebut. Apalagi dalam sebuah hadis dikatakan bahwa kaum wanita memiliki kekurangan dari sisi akal dan agamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعۡشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقۡنَ وَأَكۡثِرۡنَ الۡاسۡتِغۡفَارَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكۡثَرَ أَهۡلِ النَّارِ فَقَالَتۡ امۡرَأَةٌ مِنۡهُنَّ جَزۡلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَكۡثَرَ أَهۡلِ النَّارِ قَالَ تُكۡثِرۡنَ اللَّعۡنَ وَتَكۡفُرۡنَ الۡعَشِيرَ مَا رَأَيۡتُ مِنۡ نَاقِصَاتِ عَقۡلٍ وَدِينٍ أَغۡلَب لِذِي لُبٍّ مِنۡ إِحۡدَاكُنَّ قَالَتۡ وَمَا نُقۡصَانُ الۡعَقۡلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقۡصَانُ الۡعَقۡلِ فَشَهَادَةُ امۡرَأَتَيۡنِ تَعۡدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقۡصَانُ الۡعَقۡلِ وَتَمۡكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفۡطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقۡصَانُ الدِّينِ
“Wahai para wanita bersedekahlah kalian dan perbanyaklah memohon ampunan (kepada Allah). Karena sungguh, aku melihat kalian merupakan mayoritas penghuni neraka.” Maka berkatalah salah seorang yang pandai dari kaum wanita, “Ada apa dengan kami ya Rasulullah, kenapa menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau bersabda, “Kalian banyak melaknat dan kalian banyak mengufuri (tidak berterima kasih) para suami. Tidaklah aku melihat seseorang yang memiliki kekurangan akal dan agama dapat mengalahkan seorang yang memiliki kecerdasan/akal yang kuat (yaitu para laki-laki) melebihi (apa yang diperbuat) oleh salah seorang dari kalian.” Wanita tersebut bertanya, “Apa yang dimaksud kurangnya akal dan agama?” Beliau bersabda, “Adapun kurangnya akal maka persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Maka itulah (bentuk) kurangnya akal. Dan dia melewati hari-hari (dalam keadaan haid ataupun nifas) dengan tidak shalat dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan? Maka yang demikian adalah bentuk kurangnya agama.” [H.R. Muslim dari jalan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma].

Akan tetapi, keadaan fitrah yang telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa taala tersebut seharusnya tidaklah menjadi penghalang bagi seseorang untuk berupaya kepada kebaikan. Sekalipun demikian, seorang wanita dapat menjadi hamba yang terbaik di sisi Allah subhanahu wa taala dengan cara banyak bertaubat dari kesalahannya dan banyak beramal saleh. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunan-nya dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيۡرُ الۡخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap keturunan Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah orang yang banyak bertaubat (kepada Allah).”

Kisah niswah kali ini adalah salah satu bentuk contoh wanita yang tetap mendapatkan keutamaan dan kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa taala sekalipun pernah tertegur oleh Allah subhanahu wa taala dalam salah satu bagian kehidupannya di dunia. Dialah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma.

Ayahnya adalah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, Amirul Mukminin kedua dan juga seorang shahabat Rasulullah. Seluruh ahlus sunnah sepakat menempatkannya menjadi shahabat terbaik setelah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu. Ibunya adalah Zainab binti Mazh’un, saudari Utsman bin Mazh’un yang terkenal telah mengharamkan minuman keras bagi dirinya sendiri sejak zaman jahiliyah.

Hafshah bintu Umar radhiyallahu ‘anhuma beranjak remaja ketika ayahnya menyatakan diri memeluk agama Islam dan meninggalkan agama nenek moyangnya. Keislaman Umar Ibnul Khathab radhiyallahu ‘anhu disambut gembira oleh kaum muslimin dan merupakan salah satu permintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah subhanahu wa taala untuk memilih salah satu dari dua orang sebagai pembela agama Islam, dan ternyata yang terpilih adalah Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Di bawah tanggung jawab seorang ayah yang mempunyai keimanan yang kokoh, Hafshah menjalani kehidupannya memeluk agama Islam sejak usia muda. Keimanan sang ayah pun membekas dan memberikan dampak terhadap keimanan di dalam dadanya. Sehingga Hafshah radhiyallahu ‘anha terkenal sebagai wanita yang banyak beribadah kepada Allah, gemar berpuasa dan melakukan shalat malam. Demikian pula saudaranya Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dikenal sebagai seorang shahabat yang senang beribadah kepada Allah dan mendekat kepada-Nya. Bukan hanya dengan amalan-amalan wajib, bahkan juga memperbanyak amalan-amalan sunahnya.

Sebagai seorang ayah, Umar merasa berkewajiban mencarikan pendamping hidup bagi putrinya tersebut. Maka ketika usia Hafshah sudah dirasa cukup untuk berumah tangga, Umar pun kemudian menikahkannya. Pilihan beliau radhiyallahu ‘anhu jatuh pada seorang shahabat yang bernama Khunais bin Hudzafah As Syahmy Al Quraisy. Khunais termasuk salah seorang shahabat yang menyambut seruan Islam di awal waktu. Beliau radhiyallahu ‘anhu termasuk kaum Muhajirin yang mengikuti dua kali hijrahnya kaum muslimin. Yang pertama adalah hijrah dari Makkah ke Habsyah. Kemudian yang kedua bersama Hafshah sebagai istrinya, Khunais melakukan hijrah dari Habasyah ke Madinah. Khunais pun termasuk salah seorang shahabat yang mengikuti perang Badar dan perang Uhud.

Sampai akhirnya perjalanan kehidupan rumah tangga mereka terhenti dengan wafatnya Khunais di Madinah setelah mendapatkan musibah pada perang Uhud. Hafshah harus menjanda tanpa seorang anak pun. Padahal usianya sangat muda yaitu 18 tahun. Mahligai rumah tangga yang baru saja merekah seakan menjadi layu dan berhenti berkembang. Hal tersebut bukan perkara yang mudah bagi seorang wanita muda belia sebagaimana Hafshah radhiyallahu ‘anha. Seberapa besar keimanan di dalam dadanya, tidaklah dapat menutupi semua kesedihan yang dirasakannya. Bagaimana kehidupannya selanjutnya? Siapakah kelak yang akan menjadi kekasih hatinya, sosok yang mencintainya dan dicintainya, yang membawanya bersama dalam ketaatan kepada Allah sebagaimana suaminya sebelumnya?

Kegelisahan Hafshah radhiyallahu ‘anha dapat dirasakan oleh sang ayah Umar Ibnul Khathab radhiyallahu ‘anhu. Maka setelah Hafshah menjanda kurang lebih 6 bulan lamanya, hati sang ayah tergerak untuk mencarikan pengganti Khunais bagi putrinya Hafshah radhiyallahu ‘anha. Kisahnya tersebut dalam beberapa riwayat, di antaranya dalam Shahih Al-Bukhari. Imam Al Bukhari menempatkan kisah tersebut dalam sebuah pembahasan tentang pernikahan, Bab Seseorang Menawarkan Putrinya atau Saudarinya pada Seorang yang Baik.

Maka datanglah Umar Ibnul Khathab radhiyallahu ‘anhu kepada Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu untuk menawarkan Hafshah kepadanya. Terlebih, Utsman sendiri telah kehilangan istrinya Ruqayyah binti Rasulullah radhiyallahu ‘anha. Ruqayyah wafat karena musibah sakit yang menimpanya. Utsman meminta waktu untuk berpikir beberapa hari. Kemudian Utsman memberikan keputusannya dengan mengatakan, “Sungguh telah mantap bagiku untuk belum menikah dulu pada hari-hari ini.” Setelah itu, Umar mendatangi Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu untuk menawarkan Hafshah kepadanya. Akan tetapi, Abu Bakar hanya terdiam dan tidak memberikan jawaban apa pun kepadanya. Umar melihat bahwa keadaan Abu Bakar pun serupa dengan Utsman. Maka dia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan penawaran yang diberikan kepada kedua shahabatnya dan bagaimana sikap mereka terhadap penawarannya tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghiburnya dan berkata, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman, dan Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafshah.” Maka tidak lama berselang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melamar Hafshah. Pernikahan mereka terjadi pada bulan Sya’ban tahun ke-3 H. Sementara Utsman bin Affan menikah dengan Ummu Kultsum binti Rasulullah pada bulan Jumadil Akhir tahun ke-3 H.

Pernikahan mereka disambut gembira oleh penduduk Madinah. Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ketika bertemu Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Mungkin engkau marah terhadapku ketika engkau menawarkan Hafshah kepadaku dan aku tidak memberikan jawaban apa pun. Sesungguhnya, tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab tawaranmu kecuali karena aku telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut-nyebut tentang Hafshah dan aku tidak ingin menyebarkan rahasia beliau. Jikalau beliau meninggalkannya, sungguh aku akan menikahinya.”

Hafshah binti Umar radhiyallahu ‘anhuma akhirnya menjadi salah seorang Umahatul Mukminin, ibunda kaum mukminin (karena setiap istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedudukannya seperti ibu bagi kaum mukminin, red.). Beliau menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Saudah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Dan Hafshah mempunyai kedekatan hubungan dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Kehidupan rumah tangga bersama suami tercinta dilaluinya dengan penuh rasa syukur. Akan tetapi sifat dasarnya sebagai seorang wanita pernah membawanya dalam suatu keadaan yang menyulitkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, beliau radhiyallahu ‘anha pernah menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang Ummul Walad Rasulullah Mariyah Al Qibtiyyah yang pernah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisahnya disebutkan Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab Tafsir-nya ketika membawakan tafsir Al Qur’an surat At Tahrim 1-5, beliau menukilkan kisah dari jalan Ibnu Jarir rahimahullah. Berkaitan dengan peristiwa itu, Allah turunkan Al Quran surat At Tahrim ayat ke 4 kepada Hafshah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Allah subhanahu wa taala berfirman:
إِن تَتُوبَآ إِلَى ٱللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِن تَظَـٰهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ مَوْلَىٰهُ وَجِبْرِيلُ وَصَـٰلِحُ ٱلْمُؤْمِنِينَ
“Jika kalian berdua bertaubat kepada Allah maka sesungguhnya hati kalian berdua telah condong (untuk menerima kebaikan). Dan jika kalian berdua bantu-membantu untuk menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan begitu pula Jibril serta kaum mukminin yang saleh.”

Ada sebuah riwayat yang shahih bahwa Rasulullah pernah menceraikan Hafshah akibat peristiwa tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali merujuknya atas perintah Jibril ‘alaihis salam yang berkata kepada beliau, “Sesungguhnya dia (Hafshah binti Umar) adalah seorang wanita yang banyak berpuasa dan melakukan shalat malam, dan dia adalah istrimu di surga.”

Demikianlah, Hafshah radhiyallahu ‘anha adalah salah satu dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah Allah memilihnya kecuali ada keutamaan pada diri beliau. Kesalahan yang pernah diperbuat disesalinya dengan sangat. Teguran dari Allah dijadikannya sebagai pelajaran berharga untuk lebih berkhidmat kepada suami di kemudian hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkannya, dan Hafshah kembali ke dalam ketenangan hidup sebagai salah satu dari istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedekatannya kepada Allah dengan amalan-amalan wajib hingga sunahnya mengantarkannya untuk tetap mendapatkan keutamaan sebagai istri Rasulullah di dunia dan akhirat. Satu contoh nyata bahwa kesalahan yang dilakukan seseorang bukanlah penghalang untuk seseorang mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya selama orang tersebut mau bertaubat dan mengambil pelajaran dari kesalahannya.

Tidak cukup sampai di situ kemuliaan yang Allah subhanahu wa taala berikan kepadanya. Hafshah radhiyallahu ‘anha adalah satu-satunya istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah subhanahu wa taala pilih sebagai penjaga lembaran-lembaran pertama yang bertuliskan Al Quran. Ketika Abu Bakar Ash Shiddiq menjadi khalifah pertama, maka bacaan Al Quran dituliskan ke dalam lembaran-lembaran untuk menghindari terlupakannya bacaan Al Quran. Waktu itu, banyak shahabat penghafal Al Quran yang meninggal dunia. Mushaf pertama tersebut disimpan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq selama beliau menjadi khalifah. Kemudian diserahkan kepada Umar Ibnul Khathab setelah beliau menjadi khalifah kedua. Ketika Umar bin Khathab mendekati ajal akibat ditikam oleh Abu Lu’lu Al Majusi pada tahun 23 hijriyah, Hafshahlah yang mendapatkan amanah untuk menjaga mushaf tersebut sepeninggal ayahnya. Dan Hafshah radhiyallahu ‘anha menjaganya dengan baik hingga Allah mewafatkannya pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Sebelum meninggal, beliau mewasiatkan mushaf tersebut kepada saudaranya, Abdullah bin Umar ibnul Khathab radhiyallahu ‘anhuma.

Semoga Allah meridhai Hafshah binti Umar bin Khathab, Ummul Mukminin penjaga Mushaf Al Quran, serta memudahkan para muslimah untuk mencontoh dan mengambil pelajaran dari kehidupannya yang penuh kemuliaan. Amin.


Sumber: Rubrik Niswah Majalah Qudwah edisi 25 vol.03 1436 H/ 2015 M. Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa’.